PAGARALAMPOS.COM - Di wilayah Afrika Barat yang panas dan penuh dinamika, rambut bukan sekadar soal penampilan atau tren.
Rambut menjadi bahasa tak bersuara yang mengandung arti mendalam—menggambarkan identitas, status sosial, bahkan perlawanan terhadap penindasan.
Gaya rambut runcing dengan bentuk yang menjulang dan pola yang rumit bukan hanya estetika, tapi juga lambang warisan perlawanan yang terus hidup.
Di kalangan masyarakat seperti Yoruba di Nigeria dan suku Akan di Ghana, gaya rambut tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, melainkan juga menyampaikan informasi penting seperti usia, status pernikahan, kedudukan sosial, dan bahkan kedalaman spiritual seseorang.
Saat masa kolonial, ketika banyak aspek budaya tradisional ditekan atau dilarang, rambut tetap menjadi satu-satunya simbol yang sulit dihapus oleh penjajah—baik secara nyata maupun simbolis.
BACA JUGA:Sejarah Danau Ranau: Keindahan Alam dan Warisan Geologi di Perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung
BACA JUGA:Rekomendasi Wisata Pekanbaru: Menjelajahi Pesona Alam, Budaya, dan Sejarah di Ibu Kota Riau!
Bahkan dalam penjara-penjara kolonial, perempuan Afrika memanfaatkan jalinan rambut mereka untuk menyembunyikan benih tanaman atau merancang jalur pelarian secara rahasia.
Dalam konteks ini, rambut menjadi media perlawanan senyap—alat bertahan yang meskipun tersembunyi, sangat bermakna.
Rambut yang Dicap Liar tapi Tak Tunduk
Pada masa penjajahan, gaya rambut tradisional seperti rambut runcing sering dianggap “tidak beradab” oleh penguasa Eropa.
Perempuan yang mempertahankan gaya tersebut sering menghadapi diskriminasi dan bahkan dipaksa mencukur rambut sebagai upaya pengendalian sosial.
Namun, dari tekanan itu justru tumbuh keteguhan yang kuat. Rambut runcing menjadi simbol ketegaran dan akar budaya yang sulit dicabut.
Ia merupakan pernyataan perlawanan yang perlahan tapi pasti menyampaikan pesan bahwa identitas tidak bisa dihapus oleh kekuasaan atau kekerasan.
BACA JUGA: Danau Satonda: Sejarah Alam dan Legenda Mistis Pulau Vulkanik yang Menawan