Dalam beberapa kisah lisan, disebutkan pula bahwa benteng ini menjadi tempat penyimpanan senjata tradisional seperti mandau dan sumpit beracun.
Benteng dan Semangat Perlawanan
BACA JUGA:Sejarah Rumah Adat Kalimantan Selatan: Mengenal Arsitektur dan Nilai Budaya Rumah Baanjung!
Benteng Bukit Cening bukan sekadar struktur fisik, tetapi simbol dari semangat perlawanan dan persatuan masyarakat Dayak dalam mempertahankan tanah leluhur mereka.
Perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan baik oleh kekuatan asing maupun ekspansi dari luar Kalimantan terekam dalam kisah-kisah rakyat yang diwariskan turun-temurun.
Salah satu cerita lokal yang populer mengisahkan tentang seorang panglima muda bernama Cening, yang memimpin pertahanan di bukit ini.
Keberanian dan strategi jitu sang panglima berhasil menggagalkan beberapa serangan musuh. Nama “Cening” inilah yang kemudian diabadikan sebagai nama bukit dan benteng tersebut.
Pelestarian dan Tantangan Modern
BACA JUGA:Memahami Sejarah Suku Enggano: Menyelami Jejak Budaya di Pulau Terluar Bengkulu!
Seiring berjalannya waktu, keberadaan Benteng Bukit Cening semakin tergerus oleh perubahan zaman.
Kurangnya dokumentasi resmi, ditambah minimnya perhatian dari pemerintah, membuat benteng ini nyaris terlupakan.
Kini, sisa-sisa struktur benteng hanya bisa dikenali oleh masyarakat sekitar yang masih menjunjung nilai-nilai sejarah dan adat.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul upaya pelestarian dari komunitas lokal dan pegiat sejarah daerah.
Mereka mulai melakukan pemetaan ulang lokasi benteng, pengumpulan cerita rakyat, hingga kampanye pelestarian situs bersejarah ini melalui media sosial dan kegiatan budaya.
Pemerintah daerah pun mulai melirik potensi benteng ini sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi.
Dengan pengelolaan yang baik, Benteng Bukit Cening berpotensi menjadi tempat wisata berbasis budaya yang mampu mengangkat kearifan lokal Kalimantan Barat ke tingkat nasional.