Mereka hidup dalam kelompok-kelompok adat yang dipimpin oleh seorang tetua adat atau tokoh adat yang disebut Kapita.
Kapita memiliki wewenang dalam memutuskan urusan adat, seperti pernikahan, penyelesaian konflik, hingga pelaksanaan upacara adat.
Masyarakat Moronene umumnya hidup dari hasil pertanian, terutama menanam padi ladang, singkong, dan jagung. Selain itu, mereka juga berburu dan meramu hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kehidupan mereka sangat erat dengan alam, sehingga mereka sangat menghormati hutan sebagai bagian dari warisan leluhur yang harus dijaga.
Bahasa dan Kepercayaan
Suku Moronene memiliki bahasa sendiri yang dikenal sebagai bahasa Moronene.
Bahasa ini merupakan bagian dari kelompok bahasa Bungku-Tolaki yang tersebar di Sulawesi Tenggara.
Sayangnya, dengan masuknya pengaruh bahasa Indonesia dan bahasa daerah lain seperti Bugis dan Tolaki, penggunaan bahasa Moronene mulai menurun, terutama di kalangan generasi muda.
Dalam hal kepercayaan, sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, masyarakat Moronene memeluk kepercayaan animisme.
Mereka meyakini bahwa roh leluhur dan makhluk halus mendiami hutan, sungai, dan tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat.
Upacara adat dan ritual sesajen sering dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap roh leluhur.
Saat ini, sebagian besar masyarakat Moronene memeluk agama Islam, namun unsur kepercayaan lama masih tetap bertahan dalam beberapa tradisi dan ritual adat.
Konflik dan Eksistensi
BACA JUGA:Menguak Sejarah Makam Sunan Muria: Warisan Spiritual di Lereng Gunung Kudus!
Salah satu babak sejarah penting yang dialami Suku Moronene terjadi pada akhir abad ke-20.