Dalam Kongres Pemuda II, tiga butir sumpah diucapkan sebagai simbol persatuan bangsa:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ketiga butir tersebut menegaskan identitas bangsa yang satu, tanah air yang sama, serta bahasa yang menjadi alat pemersatu.
BACA JUGA:Sejarah Candi Arjuna: Jejak Peradaban Hindu Tertua di Dataran Tinggi Dieng
BACA JUGA:Menguak Sejarah Candi Tara: Keagungan Warisan Buddha dari Abad ke-8!
Fakta Menarik tentang Sumpah Pemuda
Kongres Pemuda II berlangsung di beberapa tempat, mulai dari gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), bioskop Oost Java, hingga penutupan di Jalan Kramat Raya No. 106 yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Pada acara tersebut, Wage Rudolf Supratman memperdengarkan lagu “Indonesia Raya” dengan alat musik biola.
Karena situasi penjajahan, lirik lagu tidak dinyanyikan secara terbuka agar terhindar dari tekanan kolonial. Meski demikian, lagu ini sukses membangkitkan semangat para peserta dan kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia.
Peran perempuan dalam kongres juga penting, meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
BACA JUGA:Menguak Sejarah Candi Tara: Keagungan Warisan Buddha dari Abad ke-8!
BACA JUGA:Menyikapi Sejarah Candi Tawangalun: Jejak Peradaban Kuno di Bumi Blitar!
Salah satu perempuan yang berkontribusi adalah Johanna Masdani, yang menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan juga melibatkan kaum wanita.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sebenarnya berasal dari bahasa Melayu, yang sudah lama digunakan sebagai bahasa komunikasi antar suku di Nusantara. Bahasa ini dipilih karena mudah dimengerti dan dapat menjangkau berbagai kelompok masyarakat.