PAGARALAMPOS.COM - Pada abad ke-19, kekuatan Barat mulai menancapkan kukunya di Asia melalui perdagangan, bukan pasukan berkuda atau meriam besar.
Inggris, yang tengah menikmati kejayaan kolonialnya, menghadapi defisit perdagangan besar akibat ketergantungan pada teh dari Tiongkok.
Untuk menyeimbangkan neraca, mereka menyelundupkan opium dari India ke Tiongkok dan menjadikan rakyatnya sebagai pasar candu paling menguntungkan dalam sejarah.
Ketika Kaisar Daoguang menyadari kehancuran moral dan sosial yang melanda negerinya, ia memerintahkan pelarangan total perdagangan opium.
BACA JUGA:Memahami Sejarah Benteng Tolukko: Jejak Kolonial di Pesisir Ternate!
Namun larangan itu justru memicu konflik besar dengan Inggris yang merasa hak dagangnya dilanggar secara sepihak.
Dalam Perang Opium pertama tahun 1839, kekuatan militer modern Eropa mempermalukan Tiongkok yang masih bertumpu pada strategi kuno.
Ketika peluru kapal perang menghujani pelabuhan-pelabuhan penting, Tiongkok pun terpaksa tunduk dan menandatangani Perjanjian Nanjing yang membuka pelabuhan dagang dan menyerahkan Hong Kong kepada Inggris.
Itu menjadi awal dari serangkaian perjanjian tidak adil yang menjadikan Tiongkok sebagai ladang eksploitasi bangsa asing.
BACA JUGA:Segitiga Bermuda: Mengungkap Sejarah dan Misteri di Balik Hilangnya Kapal dan Pesawat!
Yang menarik, perang ini tidak sekadar memperebutkan komoditas, tetapi juga mencerminkan kesenjangan peradaban dan kesombongan kekuatan industri terhadap bangsa yang menolak tunduk.
Pedagang-pedagang Inggris kala itu bukan hanya menjual barang, tetapi juga menanamkan ketergantungan dan menghancurkan fondasi sosial masyarakat.
Tiongkok, yang selama ribuan tahun berdiri sebagai peradaban mandiri, mendadak menjadi sasaran perpecahan dan campur tangan asing yang tak berkesudahan.
Perdagangan, yang sejatinya membawa pertukaran budaya dan kesejahteraan, diubah menjadi alat penaklukan yang kejam.
BACA JUGA:Menelusuri Pulau Patung: Sejarah dan Misteri di Tengah Kanal Xochimilco!