Darah, Salib, dan Takhta Inilah Wajah Lain Perang Salib yang Jarang Dibahas

Jumat 16-05-2025,20:33 WIB
Reporter : Yogi
Editor : Gelang

Sementara itu, Kekaisaran Bizantium memanfaatkan momen ini untuk meminta bantuan militer dari Barat guna melawan ekspansi Turki Seljuk. 

Politik aliansi antar kekuatan Kristen ini menunjukkan bahwa strategi dan diplomasi tidak bisa dilepaskan dari perjalanan Perang Salib. 

Bahkan, beberapa ekspedisi berakhir bukan di Yerusalem, melainkan menjarah kota Kristen lainnya seperti Konstantinopel. 

Ini membuktikan bahwa arah perang kerap dibelokkan demi kepentingan politik.

BACA JUGA:Memahami Sejarah Benteng Palasari: Jejak Kolonial di Bumi Bali!

Para pemimpin besar dalam Perang Salib juga menunjukkan wajah ganda antara religiusitas dan kalkulasi politik. 

Raja Richard dari Inggris dan Sultan Saladin dari Mesir, misalnya, terlibat dalam negosiasi damai meskipun dikenal sebagai pemimpin perang yang karismatik. 

Mereka paham bahwa kemenangan militer belum tentu berujung pada stabilitas jangka panjang. 

Diplomasi menjadi alat lain yang tak kalah penting dibanding pedang dan panji suci.

BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Benteng Belanda Tangkil: Jejak Kolonial di Tanah Lampung!

Perang Salib pun membentuk wajah Eropa dan Timur Tengah secara geopolitik selama berabad-abad. 

Banyak kerajaan baru terbentuk di wilayah jajahan, seperti Kerajaan Yerusalem, yang dipimpin oleh para bangsawan Eropa. 

Struktur kekuasaan ini tak hanya memperkuat dominasi Kristen, tetapi juga mempertegas bahwa perang tersebut memiliki tujuan teritorial dan administratif. 

Dari sinilah jelas bahwa Perang Salib adalah ajang transformasi kekuasaan global.

BACA JUGA:Menyikapi Sejarah Danau Paniai: Permata Alam dari Pegunungan Papua!

Di sisi lain, dunia Islam juga tidak selalu bersatu menghadapi serangan dari Barat. 

Kategori :