Kelompok pesisir tinggal di sepanjang pantai Laut Arafuru, sedangkan kelompok pedalaman menetap di area hutan dan rawa terpencil wilayah Jayawijaya.
Di daerah pedalaman, batu menjadi komoditas bernilai tinggi karena sulit didapat. Bahkan, batu sering dijadikan sebagai bagian dari mas kawin dan digunakan untuk membuat alat-alat seperti kapak atau palu.
BACA JUGA:Sejarah Tempat Pertahanan Tanah Tinggi: Jejak Pertahanan Zaman Dulu di Dalam Kota!
Secara fisik, masyarakat Asmat cenderung bertubuh tinggi. Wanita rata-rata memiliki tinggi sekitar 162 cm, dan pria mencapai 172 cm.
Dalam satu kampung biasanya terdapat Rumah Bujang, yaitu tempat berkumpulnya para pria untuk melakukan ritual adat dan kegiatan spiritual.
Rumah tinggal lainnya dihuni oleh beberapa keluarga secara bersama-sama.
Kegiatan utama mereka adalah bercocok tanam dan berburu, dilakukan dengan cara-cara tradisional. Makanan pokok mereka adalah sagu, yang sering dibentuk bulat lalu dibakar.
Ulat sagu merupakan hidangan spesial dan disiapkan dengan cara unik: dibungkus dengan daun nipah, diberi sagu, lalu dibakar sebelum disantap.
BACA JUGA:Sejarah Danau Ranau: Warisan Geologi dan Budaya di Perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung!
BACA JUGA:Sejarah Monumen Bambu Runcing: Simbol Perjuangan Rakyat Surabaya Melawan Penjajah!
Suku Dani
Suku Dani tinggal di Lembah Baliem dan telah mendiami kawasan tersebut selama berabad-abad. Persebaran mereka meliputi wilayah Pegunungan Tengah Papua, termasuk Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Puncak Jaya.=
Masyarakat Dani dikenal sebagai petani tradisional yang andal, dan mereka mengembangkan sistem pertanian sendiri yang sudah berlangsung lama.
Peralatan yang digunakan pun sederhana, seperti kapak dan pisau dari batu, bambu, atau tulang hewan. Mereka juga membuat tombak dari kayu keras yang sangat kokoh.
Meski arus modernisasi mulai masuk, masyarakat Dani tetap teguh memelihara warisan budaya mereka. Inilah yang membuat suku ini menarik untuk dipelajari lebih dalam, baik dari sisi sejarah maupun budayanya.