Mereka diangkut dalam kondisi yang tak manusiawi, dikurung dalam kapal sempit selama berminggu-minggu tanpa cukup makanan atau air.
Ribuan meninggal dalam perjalanan sebelum sempat menginjakkan kaki di tanah yang dijanjikan kepada tuan mereka.
Di benua Amerika, para budak dijadikan tulang punggung industri pertanian, terutama dalam perkebunan tebu, kapas, dan tembakau.
Mereka dipaksa bekerja keras dari pagi hingga malam, sering kali disiksa jika tidak memenuhi kuota kerja.
BACA JUGA:Menguak Sejarah Telaga Madirda: Legenda, Mitos, dan Warisan Budaya Jawa!
Hak asasi mereka dihapus sepenuhnya mereka bukan lagi manusia, melainkan “properti” yang bisa dijual kapan saja.
Meskipun kelam, sejarah perbudakan juga menyimpan kisah tentang perjuangan, perlawanan, dan harapan.
Tokoh-tokoh seperti Harriet Tubman, Frederick Douglass, dan Sojourner Truth muncul sebagai simbol perlawanan dan pembebasan.
Revolusi Haiti pada 1791 menjadi salah satu momen penting, di mana budak-budak berhasil menggulingkan pemerintahan kolonial dan mendirikan negara merdeka yang dipimpin oleh mantan budak.
BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Candi Jolotundo: Jejak Peradaban Kuno di Lereng Gunung Penanggungan!
Di Inggris, gerakan abolisionis berhasil mendorong pemerintah untuk menghapuskan perbudakan pada 1833.
Amerika Serikat mengikuti pada tahun 1865 melalui Amandemen ke-13 Konstitusi.
Namun, meskipun perbudakan secara hukum telah dihapuskan, dampaknya masih terasa hingga kini dalam bentuk rasisme sistemik, ketimpangan ekonomi, dan diskriminasi sosial.
Hari ini, kita hidup di dunia yang secara resmi menolak perbudakan.
BACA JUGA:Menyikapi Sejarah Candi Blandongan: Warisan Arkeologis Kerajaan Tarumanagara!
Namun, bentuk-bentuk baru dari eksploitasi manusia seperti perdagangan manusia, kerja paksa, dan perbudakan modern masih menghantui banyak negara.