Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 menciptakan Pancasila.
Ia tidak membawa naskah.
Hanya pemikiran, Tapi dari mulutnya, mengalir lima prinsip yang kemudian ia sebut sebagai Philosophische Grondslag dasar filsafat dari negara yang akan berdiri Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.
Soekarno sendiri menyadari bahwa lima prinsip itu bisa disederhanakan menjadi tiga (Trisila), bahkan satu sila tunggal Gotong Royong.
BACA JUGA:Sejarah Candi Sumberawan: Jejak Keagungan Hindu-Buddha di Kaki Gunung Arjuno!
Namun, kelima sila itulah yang akhirnya membentuk Pancasila seperti yang sekarang kita kenal.
Setelah sidang BPUPKI, Panitia Sembilan dibentuk untuk membuat Piagam Jakarta.
Di dalamnya, lima sila tadi tertulis, namun dengan redaksi yang sedikit berbeda.
Terutama sila pertama, yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki kewajiban untuk menerapkan syariat Islam bagi mereka yang menganut agamanya.
BACA JUGA:Sejarah Candi Agung Amuntai: Warisan Hindu Tertua di Kalimantan Selatan!
Frasa ini menjadi perdebatan.
Demi menjaga persatuan nasional dan menghargai keberagaman keyakinan di negeri ini, maka tujuh kata itu dihapus pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan.
Maka lahirlah rumusan Pancasila yang final Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila bukan hanya ide brilian dari Bung Karno.
BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Keraton Kadriyah: Jejak Kejayaan Kesultanan Pontianak!
Ia adalah hasil dialog, kompromi, bahkan pengorbanan dari para pendiri bangsa.