Satu lembar naskah menandai pemecahan kerajaan tersebut.
Pakubuwana III tetap berkuasa di Surakarta, sementara Pangeran Mangkubumi memperoleh separuh wilayah barat dan mendirikan keraton baru di Yogyakarta.
Sejak saat itu, dua dinasti besar ini hidup berdampingan dalam kedamaian yang rapuh.
Namun, Perjanjian Giyanti bukan sekadar pembagian wilayah.
Ia merupakan simbol kompromi, gambaran bagaimana darah dapat dihentikan dengan tinta, serta bagaimana politik sering kali tidak memberikan pilihan yang ideal.
Dalam situasi ini, ada dilema antara mengalah demi kepentingan rakyat atau terus berperang demi mempertahankan kehormatan.
Menarik untuk diperhatikan, meskipun berasal dari perpecahan, kedua keraton ini justru mampu mengembangkan budaya yang luar biasa.
Surakarta dikenal dengan kehalusan tarinya, sementara Yogyakarta kaya akan sastra dan seni rupa.
Seolah-olah, dari setiap pecahan tersebut muncul kekayaan baru yang ironis namun nyata.
Perjanjian Giyanti menjadi pelajaran abadi bahwa kekuasaan bisa menjadi bumerang ketika terpengaruh oleh campur tangan asing.
Ini menunjukkan bahwa sebuah bangsa yang tidak bersatu akan mudah untuk dipecah.
Selain itu, sejarah—seperti yang ditulis oleh para pemenang—sering kali lebih rumit daripada yang kita bayangkan.
BACA JUGA:Presiden Jokowi dan PM Timor Leste Dorong Pembentukan Perjanjian Kerja Sama Investasi Bilateral
Saat ini, siapa yang masih mengingat Perjanjian Giyanti? Mungkin hanya segelintir pelajar sejarah dan beberapa abdi dalem keraton.