Kawin Tangkap di Sumba: Antara Tradisi, Kontroversi, dan Upaya Pelestarian Budaya

Senin 31-03-2025,17:57 WIB
Reporter : Elis
Editor : Almi

Dalam beberapa perspektif, hal ini menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem matriarki yang kuat dalam budaya Sumba.

Proses Pelaksanaan

Dalam praktiknya, kawin tangkap melibatkan tindakan ‘penculikan’ calon pengantin perempuan.

BACA JUGA:Sejarah Putri Agung Karangasem: Tokoh Berpengaruh dalam Kerajaan Bali Timur!

BACA JUGA:Menyelami Kisah Sejarah Istana Kadriah: Warisan Kesultanan Pontianak yang Penuh Makna!

Tradisi ini umumnya dilakukan oleh laki-laki dari keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik.

Saat prosesi berlangsung, terdapat berbagai simbol adat yang digunakan, seperti kuda atau emas yang diletakkan di bawah bantal sebagai tanda bahwa prosesi adat sedang berjalan.

Setelahnya, kedua calon pengantin akan mengenakan pakaian adat, dan keluarga laki-laki menyerahkan hadiah sebagai permohonan restu kepada pihak perempuan.

Kontroversi di Balik Tradisi

Meskipun dianggap sebagai bagian dari warisan budaya, kawin tangkap menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Menurut Komnas Perempuan, praktik ini berpotensi menjadi bentuk kekerasan terhadap perempuan karena adanya unsur paksaan.

BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Air Terjun Sigura-Gura: Keindahan dan Legenda di Tanah Batak!

BACA JUGA:Pura Luhur Giri Arjuno. Wisata Keagamaan Umat Hindu. Ini Sejarah Berdirinya!

Mereka menilai kawin tangkap sebagai tindakan yang melanggar hak perempuan dan harus dihentikan.

Pada tahun 2020, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, mengunjungi Sumba untuk berdialog dengan tokoh adat, pemuka agama, akademisi, serta pemerintah daerah terkait praktik ini.

Hasil dari diskusi tersebut adalah kesepakatan untuk mengutamakan perlindungan bagi perempuan yang terdampak dan mengembalikan mereka ke keluarga masing-masing.

Kategori :