Oleh karena itu, bayi tersebut dianggap tidak boleh hidup untuk menjaga keseimbangan dan keselamatan komunitas.
BACA JUGA:Bukan Cuma Makanan, Tapi Sejarah Bakwan yang Menarik! Tahu Tidak?
Alasan di Balik Tradisi Mingi
Di balik keputusan-keputusan tragis tersebut, terdapat berbagai alasan yang mendasarinya.
Salah satunya adalah pandangan hidup masyarakat adat yang sangat bergantung pada kelangsungan hidup kelompok.
Dalam lingkungan yang keras, seperti hutan belantara atau daerah yang sulit dijangkau, setiap anggota keluarga harus dapat memberikan kontribusi maksimal untuk bertahan hidup.
Bayi cacat dianggap tidak mampu bertahan hidup dalam kondisi sulit, yang pada gilirannya bisa membebani keluarga atau suku tersebut.
Selain itu, banyak juga yang beranggapan bahwa bayi cacat akan mengundang malapetaka atau penyakit yang bisa menimpa seluruh komunitas.
BACA JUGA:Apa yang Membuat Kurma Begitu Khas dan Penuh Sejarah? Simak Penjelasannya!
Dampak dan Perubahan
Praktik Mingi sangat kontroversial dan kini sudah banyak ditinggalkan, seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan kesadaran akan hak asasi manusia.
Organisasi kemanusiaan dan pemerintah Indonesia telah berupaya untuk memberantas tradisi ini dan menggantinya dengan pemahaman yang lebih humanis.
Kini, kebanyakan masyarakat adat di Indonesia tidak lagi memperbolehkan praktik seperti ini, dan bayi yang lahir dengan cacat atau kelainan fisik diterima dengan kasih sayang, meskipun tantangan untuk merawat mereka dalam lingkungan yang sulit tetap ada.
Suku-suku yang dulu menerapkan tradisi Mingi kini banyak yang telah beralih ke keyakinan dan praktik yang lebih modern, meskipun sebagian kecil masyarakat masih mempertahankan beberapa aspek dari tradisi tersebut.
BACA JUGA:Peradaban Suku Maya. Peninggalan Sejarah Terbesar Dunia
Pemerintah bersama berbagai organisasi masyarakat berperan penting dalam menyosialisasikan nilai-nilai kemanusiaan dan hak-hak anak untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan penuh kasih.