Dengan adanya pembatasan ini, banyak anggota Suku Sekak beralih ke sektor pertambangan timah.
Sebagian lahan yang dulu dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan kini dijual dan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
BACA JUGA:Kekayaan Sejarah Pasemah Dibalik Historis Megalitikum Yang tak Terwariskan
BACA JUGA:Kerajaan Tumapel: Menyelami Sejarah Politik dan Kekuasaan di Jawa Timur
Meski telah beradaptasi dengan perubahan, keinginan masyarakat Sekak untuk kembali ke laut tetap kuat.
Bagi mereka, menjadi nelayan bukan hanya pekerjaan, melainkan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
Ancaman terhadap Kelestarian Budaya
Selain jumlah populasi yang semakin menurun, tradisi dan bahasa Suku Sekak kini berada di ambang kepunahan.
BACA JUGA:Kopi Kuning Arab Saudi: Keunikan Rasa dan Cerita Sejarah di Baliknya
BACA JUGA:Mengenal Jumputan Palembang: Sejarah, Budaya, dan Upaya Pelestariannya
Generasi muda mulai kehilangan keterikatan dengan adat istiadat dan bahasa leluhur. Bahasa Sekak bahkan hampir sepenuhnya punah di kalangan anak muda.
Saat ini, populasi asli Suku Sekak hanya tersisa sekitar 120 keluarga yang tersebar di beberapa wilayah Bangka, seperti Kuto Panji, Jeb Laut, Kudinpar, Lepar, dan Pongok, serta di Belitung, seperti Jul Seberang, Kampung Baru, dan Gantung.
Upaya Pelestarian Suku Sekak
Melestarikan Suku Sekak membutuhkan sinergi berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat lokal, dan organisasi non-pemerintah.
BACA JUGA:Kekayaan Sejarah Pasemah Dibalik Historis Megalitikum Yang tak Terwariskan
BACA JUGA:Kerajaan Tumapel: Menyelami Sejarah Politik dan Kekuasaan di Jawa Timur