Kesultanan Palembang, melalui Kuto Lamo, memiliki hubungan diplomatik dan perdagangan yang kuat dengan Kesultanan Malaka, Kesultanan Johor, serta kerajaan-kerajaan Eropa seperti Inggris dan Belanda.
BACA JUGA:Mengenal Sejarah Kerajaan Tanjungpura, Pusat Kekuasaan Kuno di Kalimantan
Namun, pada akhir abad ke-18, Kesultanan Palembang mulai menghadapi ancaman dari kolonialisme Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821), Palembang terlibat dalam konflik dengan Belanda yang berujung pada penyerbuan dan pendudukan Palembang oleh pasukan Hindia Belanda pada tahun 1821.
Akibat dari kekalahan ini, Kesultanan Palembang kehilangan kekuasaan politiknya, dan Kuto Lamo perlahan-lahan mulai kehilangan fungsi utamanya sebagai pusat kekuasaan.
Masa Pendudukan Belanda dan Penurunan Peran Keraton
Setelah penaklukan Palembang oleh Belanda, Keraton Kuto Lamo digunakan oleh pemerintah kolonial sebagai pusat administrasi.
BACA JUGA:Sejarah Kerajaan Sumedang Larang: Dari Awal Berdiri hingga Masa Kejayaan
Pada masa ini, Belanda melakukan berbagai perubahan pada struktur bangunan keraton, yang mengubah beberapa aspek arsitekturnya agar sesuai dengan kebutuhan pemerintahan kolonial.
Meskipun demikian, bangunan ini tetap mempertahankan beberapa elemen arsitektur tradisional Palembang, seperti bentuk atap yang khas dan ornamen-ornamen yang bernilai artistik tinggi.
Pada masa kolonial, Kuto Lamo kehilangan fungsinya sebagai istana sultan, tetapi tetap menjadi saksi bisu dari berbagai perubahan politik dan sosial di Palembang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Kuto Lamo mengalami beberapa kali renovasi untuk menjaga kelestarian bangunan tersebut.
BACA JUGA:Kerajaan Singhasari: Jejak Sejarah dan Kejayaan di Jawa Timur
Keraton Kuto Lamo sebagai Situs Warisan Sejarah
Saat ini, Keraton Kuto Lamo telah ditetapkan sebagai salah satu situs warisan sejarah di Palembang.
Walaupun mengalami kerusakan akibat perang dan penjajahan, bangunan ini tetap menjadi simbol kejayaan masa lalu Kesultanan Palembang Darussalam.