Peta Belanda tahun 1820 mencatat Kampung Hukaea sebagai pemukiman terbesar suku Moronene yang sekarang termasuk dalam kawasan taman nasional tersebut.
Permukiman suku Moronene menyebar di berbagai kabupaten di Sulawesi Tenggara, termasuk Kota Kendari.
Pada tahun 1952-1953, banyak dari mereka berpindah akibat gangguan keamanan.
Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala, dikenal sebagai Tobu Waworaha, merupakan lokasi penting dari segi sejarah dan budaya mereka.
BACA JUGA:Fakta Menarik Sejarah Suku Penghulu: Dari Asal Usul hingga Tradisi
Kebudayaan dan Adat Istiadat
Suku Moronene dikenal karena keramahan mereka, penghormatan terhadap orang tua, dan keinginan untuk menjalin persahabatan.
Budaya mereka mengutamakan sopan santun, seperti yang tercermin dalam istilah "Ampadea," yang berarti perilaku sopan.
Anak-anak diharapkan untuk tidak ikut campur ketika orang tua berbicara.
BACA JUGA:Fakta Menarik Sejarah Suku Penghulu: Dari Asal Usul hingga Tradisi
Di Bombana, desa adat Hukaea Laea di Kecamatan Lantari Jaya adalah salah satu tempat menarik yang patut dikunjungi.
Masyarakat di desa ini masih mempraktikkan adat istiadat tradisional mereka, termasuk sistem kekerabatan yang unik di mana wanita hanya diperbolehkan menikah dengan pria dari desa yang sama.
Sebaliknya, pria memiliki kebebasan untuk menikahi wanita dari dalam atau luar desa.
BACA JUGA:Kepercayaan Mistis di Suku Rambang, Kepercayaan Mistis di Suku Rambang
Kontribusi dan Tantangan
Sebagai bagian integral dari kekayaan budaya Indonesia, suku Moronene menghadapi tantangan dalam mempertahankan tradisi mereka di tengah modernisasi dan perubahan sosial.