Mereka menemukan bahwa penyakit kuru lebih banyak menyerang perempuan dan anak-anak daripada laki-laki.
BACA JUGA:Istana Tua Berusia 1000 Tahun Ditemukan Warga, Diduga Kerajaan Besar Milik Raja Airlangga!
Hal ini karena perempuan dan anak-anak sering mendapatkan bagian otak, hati, dan ginjal dari mayat yang dimakan, sedangkan laki-laki cenderung memakan bagian otot.
Pada tahun 1961, ahli biokimia Amerika, Carleton Gajdusek, berhasil mengisolasi prion penyebab kuru dari otak penderita.
Ia juga berhasil menularkan penyakit kuru ke monyet melalui eksperimen dengan menyuntikkan ekstrak otak penderita ke otak monyet.
Atas penemuan dan eksperimennya, Gajdusek dianugerahi Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1976.
BACA JUGA:Sejarah Pilu Pernikahan Sedarah Suku Polahi, Ternyata Keturunnya Seperti Ini Jadinya
Setelah mengenali akar penyebab penyakit kuru, pemerintah Papua Nugini mengambil langkah tegas untuk mengatasi wabah ini.
Sejak tahun 1960-an, mereka telah melarang praktik keras kanibalisme di suku Fore dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya penyakit kuru.
Akibatnya, jumlah kasus kuru menurun drastis dari ratusan menjadi hanya beberapa per tahun.
Meskipun upaya pencegahan telah berhasil mengurangi kasus penyakit ini, masih ada kemungkinan adanya kasus baru di masa depan karena masa inkubasi yang panjang.
Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa tradisi dan budaya suatu kelompok masyarakat dapat berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Kasus kuru di suku Fore adalah contoh nyata bagaimana tradisi budaya dapat berdampak negatif pada kesehatan manusia.
Meskipun tradisi tersebut dilakukan dengan maksud baik sebagai bentuk penghormatan, namun harus dievaluasi berdasarkan ilmu pengetahuan dan etika modern.
Penting bagi kita untuk melindungi budaya, namun juga bijaksana dalam mengkritik praktik-praktik yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan kesejahteraan bersama.