Semua ini adalah upaya petani untuk menghidupi dirinya sendiri, istri, dan empat anaknya.
Namun, kondisi tersebut sangat menyedihkan. Petani dengan lahan sempit ini mengeluh bahwa tanahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Percakapan ini menjadi titik balik bagi Soekarno. Ketika ia bertanya tentang nama petani tersebut, jawaban singkat "Marhaen" menciptakan ilham dalam pikirannya.
Ia memutuskan untuk menggunakan nama "marhaen" untuk mewakili semua orang Indonesia yang menderita dalam keadaan serupa.
Sejak saat itu, Soekarno merujuk pada rakyatnya sebagai "marhaen".
BACA JUGA:Dibikin Asyik Aja! Ini 5 Tradisi Suku yang Sangat Aneh di Indonesia, Ada Ritual Malam Pertamanya
Sisa hari itu, Soekarno menghabiskannya dengan bersepeda mengelilingi Bandung sambil terus merenungkan pemikiran yang telah lama tersumbat dalam benaknya.
Hasilnya adalah apa yang kemudian ia sebut sebagai "marhaenisme".
Ideologi ini mendefinisikan "marhaen" sebagai individu yang memiliki alat-alat produksi yang terbatas, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Marhaenisme menjadi representasi praktis dari sosialisme Indonesia, menggarisbawahi pentingnya pemerataan sumber daya dan perlindungan hak-hak kaum buruh dalam proses pembangunan nasional.
Dalam gambaran keseluruhan, marhaenisme adalah ideologi yang muncul dari pemahaman mendalam Soekarno terhadap kondisi kerja keras dan penderitaan rakyat kecil.
Melalui observasi, percakapan, dan pencerahan yang terjadi secara tidak terduga, ideologi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan politik dan sosial Indonesia.