Tradisi Mubeng Benteng dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan YME.
Peserta mubeng benteng berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta, alun-alun utara, ke daerah barat (Kauman), ke selatan (Beteng Kulon), ke timur (Pojok Beteng Wetan), sampai ke utara lagi dan kembali ke Keraton.
Selama prosesi mubeng benteng, peserta mengenakan pakaian khas Jawa dan tidak kehilangan kaki.
Berjalan tanpa alas kaki memiliki makna untuk lebih mendekatkan diri dan menunjukkan rasa cinta kepada alam semesta.
Selama perjalanan, semua peserta baik dari abdi dalem keraton maupun masyarakat umum melafalkan tasbih di jari kanan dan memanjatkan doa kepada Tuhan.
3. Jamasan Pusaka atau Ngumbah Keris
--
Pada malam satu Suro, Keraton Yogyakarta juga melakukan prosesi jamasan pusaka atau siraman pusaka.
Upacara ini dilakukan untuk membersihkan dan merawat seluruh pusaka milik Keraton Yogyakarta, termasuk senjata, kereta api, bendera, gamelan, manuskrip, dan benda-benda lain yang memiliki nilai sejarah dan spiritual.
Tradisi ini menghormati dan merawat pusaka-pusaka yang diwariskan dari zaman dulu, dan pada aspek spiritualnya, masyarakat Jawa menyambut malam satu Suro dengan penuh rasa cinta dan mengharapkan datangnya tahun yang baru.
Malam Satu Suro memiliki makna sakral dan penting bagi masyarakat Jawa. Dengan menggabungkan budaya Islam dan budaya Jawa, perayaan ini menjadi momen introspeksi dan spiritual bagi masyarakat.
Tradisi kirab, Mubeng Benteng, dan Jamasan Pusaka menjadi bagian dari perayaan yang mengangkat nilai-nilai kearifan lokal dan sejarah Indonesia, serta menjadi wujud penghormatan terhadap leluhur dan tradisi nenek moyang.
Malam Satu Suro adalah momen yang dinanti dan dihormati oleh orang Jawa sebagai bagian dari identitas budaya mereka.