PAGARALAMPOS.COM - Tradisi Malam Satu Suro, juga dikenal sebagai malam pergantian tahun dalam kalender Jawa, menjadi peristiwa sakral dan penting bagi masyarakat Jawa.
Tradisi ini telah dihapus dari budaya keraton, tetapi tetap dilestarikan dan diwariskan secara turun-temurun.
Sejarah Malam Satu Suro bermula dari zaman Sultan Agung, penguasa Mataram yang menamakan bulan Muharram dengan sebutan bulan Sura dalam penanggalan Jawa.
Meskipun menggunakan tahun Hijriah sebagai sistem penanggalan Muslim Jawa, sistem ini kadang memiliki selisih satu hari lebih lama dengan tahun Jawa yang lebih muda 78 tahun daripada tahun Masehi.
BACA JUGA:Hanya Mitos? Pendekar Aji Saka Pendiri Kerajaan Medhang Kamulan. Bagaimana Faktanaya
Malam Satu Suro yang juga dikenal sebagai malam pergantian tahun dalam kalender Jawa, memiliki makna sakral dan penting bagi masyarakat Jawa.
Tradisi ini dihapus dari budaya keraton dan terus diwariskan secara turun-temurun.
Berbagai upacara dan ritual diadakan untuk menyambut malam satu Suro, dengan keyakinan bahwa melalui prosesi ini, seseorang dapat membersihkan diri dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Sejarah Malam Satu Suro
--
Sejarah Malam Satu Suro berawal dari zaman Sultan Agung, seorang penguasa Mataram yang menyebut bulan Muharram dengan sebutan bulan Sura dalam penanggalan Jawa.
Tahun Hijriah digunakan sebagai sistem penanggalan Muslim Jawa, yang disebut penanggalan aboge.
Namun, dalam praktiknya, sistem ini terkadang memiliki selisih satu hari lebih lama, dengan tahun Jawa yang lebih muda 78 tahun daripada tahun Masehi.
Tetapi, perhitungannya diubah menjadi sistem tarikh qomariyah, yang mencerminkan asimilasi budaya Islam dan budaya Jawa.
Malam Satu Suro juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam penanggalan Islam. Hal ini yang menyebabkan perayaan ini menjadi sangat khusus bagi masyarakat Jawa yang beragama Islam.