Secara umum narasi dalam Red Cliff sudah logis sesuai dengan genrenya.
Berbagai kekerasan yang ditampilkan pun meski dapat dikatakan kurang logis, sebenarnya merupakan ciri khas Drama Kolosal.
Sehingga implementasinya dapat dimaklumi (misalnya koreografi barisan perang yang terlalu mengada-ada, keterampilan bela diri yang melebihi logika, dan luka senjata tidak realistis yang ditampilkan dalam film ini).
Konsistensi Cerita: Meskipun logika film ini sudah baik dan keseluruhan narasinya sudah dirajut dengan baik, namun ada beberapa titik rajutan yang kurang rapi karena ‘terlalu longgar/kedodoran’.
Secara umum, alur cerita film ini dapat dikatakan cukup konsisten karena memang durasi film ini yang sangat lama (288 menit) sampai-sampai filmnya perlu dipecah menjadi dua bagian.
BACA JUGA:Pernahkah Dicemburui oleh Sebuah Mobil yang Memiliki ‘Kepribadiannya' Sendiri?
Karena film ini durasinya panjang dan dibagi menjadi dua bagian, maka Red Cliff dapat memperoleh keistimewaan keleluasaan yang lebih dalam mengeksplorasi cerita yang umumnya dimiliki oleh serial televisi (baik serial panjang maupun miniseries).
Dengan kata lain, film ini memiliki lebih banyak waktu untuk menjelaskan lebih banyak cabang cerita untuk mendukung jalannya inti cerita.
BACA JUGA:Melihat Tradisi Berhubungan pernikahan Suku-Suku di Indonesia, Menjelajahi Keberagaman Budayanya
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa bagian cerita yang sebenarnya dapat dipersingkat, sehingga penyampaian narasinya dapat menjadi lebih efisien.
Misalnya, untuk menekankan bahwa adik perempuan Sun Quan yang bernama Sun Shangxiang adalah perempuan yang tomboy, dapat disederhanakan dengan gaya berpakaian dan perilakunya sehari-hari.
BACA JUGA:Suku-suku Eksotis Indonesia, Kekayaan Budaya dan Mistis yang Menawan!
Dengan demikian, tidak perlu lagi menampilkan berbagai adegan yang spesifik menjelaskan bahwa Sun Shangxiang adalah perempuan tomboy yang siap bertarung di medan perang.*