Kemudian dibantu dengan hakim anggota yang jumlahnya menurut Satar biasanya ganjil mulai dari tiga, lima dan seterusnya. Lalu ada panitera yang dijabat seorang juru tulis marga yang bertugas membuat buku rapat.
Sidang juga menghadirkan terdakwa yang masa itu disebut dengan pesakitan. Saksi-saksi juga dihadirkan.
Setelah mendengarkan pengakuan terdakwa dan keterangan saksi-saksi, barulah para hakim membuat keputusan yang memberikan sanksi atau tidak kepada terdakwa.
Segala keputusan hakim ini kata Satar mengacu dengan Kitab Simbur Cahye.
BACA JUGA:Budaya Menjaga Batasan 'Singkuh-Sundi', Cara Suku Besemah Menghindari Perzinahan
Sayangnya hukuman adat tidak berlaku lama. Ini karena rezim orde lama menghapus sistem pemerintahan marga. Satar mengingat, hukum adat berlaku terakhir kali pada Desember 1950.
Setelah itu hukuman adat tak dipakai lagi, sampai dengan sekarang. “Diganti dengan pengadilan umum seperti sekarang. Misalnya pengadilan negeri dan pengadilan tinggi,”tutur Satar.
Padahal menurut Satar, ketika hukum adat masih berlaku, suasana di Besemah begitu tentram, aman serta kondusif. Tidak ada yang berani melanggar hukum adat.
Para pemimpin ketika itu, kata Satar menambahkan, juga tak ingin daerah yang dipimpinnya terkena masalah.
Satar yakin, hukum adat berikut dengan pengadilannya dapat dihidupkan kembali di masa kini. Lembaga Adat klaimnya sudah memulainya.
Namun dia mengaku respon masyarakat tidak terlalu tinggi. “Ada yang merespon, tapi masih sedikit,”ucapnya.
Dihubungi Pagaralam Pos beberapa waktu lalu Aryo Arung Dinang, Pamong Budaya Disbudpar Kota Pagaralam tak menampik keberadaan sistem peradilan adat di Tanah Besemah.
Aryo mengaku pernah melakukan penelitian tentang ini. Ia mendukung bila ada rencana untuk menghidupkan kembali hukum adat berikut dengan lembaga peradilannya.
BACA JUGA:'Metangka Aghi dan Pembukean' Budaya Masyarakat Besemah Saat Bulan Puasa
Hukuman Dari Ugha Kelam