Alasan para orantua yang tidak terima lato-lato dijadikan sumber masalah juga cukup masuk akal. Sebab, pada dasarnya setiap permainan memang mengandung risiko masing-masing.
Selain lato-lato, banyak permainan anak-anak yang juga mengandung risiko. Misalnya bermain sepeda yang mengandung risiko jatuh dan kecelakaan.
Atau bermain layang-layang yang juga mengandung cukup banyak risiko. Orangtua yang tidak setuju dengan larang lato-lati juga khawatir jika anak-anak mereka semakin tergantung pada permainan yang ada di gadget.
Bagi mereka, memainkan aplikasi game yang ada di ponsel justru mengandung risiko yang lebih besar meski kebanyak tidak disadari.
BACA JUGA:Master Letnan
Bermain gadget memiliki dampak jangka panjang dan merusak mental anak-anak.
Orangtua perlu waspada sebab dengan bermain gadget anak-anak bisa mengalami jebakan psikis. Misalnya seperti perasaan kecanduan hingga memengaruhi mental dan perilaku anti sosial.
Bahkan, gawai atau gadget dalam istilah psikologi termasuk ke dalam kelompok berbahaya, yaitu "narkoba mata".
Pendapat Psikolog UGM tentang Lato-Lato
BACA JUGA:Sudah Menampung 39 Santri Unggulan, MTsN 5 Rembang Kini Punya Asrama Putra
Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Koentjoro meminta sekolah memfasilitasi siswa terkait hobi bermain lato-lato secara aman.
"Bukan sekadar melarang karena berbahaya atau membiarkan saja," demikian dikatakan Koentjoro dilansir dari JPNN.com.
Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi UGM itu, alih-alih melarang, sekolah justru bisa menjadi fasilitator bagi anak dalam menyalurkan hobi bermain lato-lato, misalnya dengan menyelenggarakan lomba lato-lato.
Cara itu, menurut dia, tidak hanya sebagai sarana menampung hobi anak, tetapi juga mengajarkan bagaimana bermain secara jujur dan sportif.
BACA JUGA:Mengenal Masjid Raya Sheikh Zayed di Solo, Simbol Persahabatan Indonesia dan UEA
Sekolah juga memiliki peran untuk memberikan pengertian pada siswa terkait aturan dan cara bermain lato-lato yang aman dan tidak mengganggu lingkungan.