Perang Padri Saat Ulama, Adat, dan Belanda Bertempur di Tanah Minang
--
PAGARALAMPOS.COM - Seandainya Imam Bonjol hidup di zaman sekarang, ia mungkin disebut sebagai “reformis radikal.”
Tapi jangan buru-buru memberi label Kisah Perang Padri bukan semata tentang perang.
Ia adalah tabrakan keras antara agama, modernitas, dan kolonialisme di tengah tanah yang retak oleh adat.
Abad ke-19 Pedalaman Minangkabau Kaum muda baru pulang dari Mekkah Mereka membawa semangat Wahabi, yang saat itu masih murni kembali ke ajaran Islam yang bersih, tanpa syirik, tanpa bid’ah, tanpa kompromi.
BACA JUGA:Sejarah Benteng Tahula: Benteng Tua yang Menyimpan Jejak Perjuangan di Maluku!
Namun di ranah Minang, adat adalah nadi Dan nadi itu tak ingin dipotong.
Maka benturan pun terjadi Kaum Padri, dengan jubah putih dan semangat menyala, menantang adat lama yang mereka anggap menyimpang.
Tak ada lagi kemenyan, tak ada lagi hari baik Bahkan konontak ada lagi talempong di pesta.
Para penghulu adat tak tinggal diam Mereka melawan Dan mulailah Perang Padri.
Awalnya perang ini adalah konflik internal Perang sipil Minang Tapi kemudian, Belanda mencium peluang.
Sebagai penjajah, mereka punya satu keahlian memancing di air keruh.
Para penghulu adat yang terdesak meminta bantuan ke Batavia.
Belanda senang bukan main Masuklah mereka ke Sumatera Barat, bukan sebagai penjajah, tapi penolong adat Retorika lama yang terus diulang dalam berbagai rupa sampai masa Orde Baru.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
