Kisah Pilu di Balik Gereja Santo Mikael, Pembantaian Umat Katolik Masa Penjajahan Jepang di Tanjung Sakti?

Kisah Pilu di Balik Gereja Santo Mikael, Pembantaian Umat Katolik Masa Penjajahan Jepang di Tanjung Sakti?

Gereja Tertua Sumsel Bukan Di Kota Besar! Tapi Ada Di Kecamatan Ini, Cek Faktanya!-tangkapan layar-Youtube media sriwijaya

PAGARALAMPOS.COM - Gereja Santo Mikael di Desa Pajar Bulan, Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat, menjadi saksi bisu perkembangan agama Katolik di Sumatera Selatan.

Dibangun pada 19 September 1898 oleh Pastor Jan Van Kamper SCJ, gereja ini telah berdiri kokoh selama lebih dari seratus tahun, dan tahun ini memperingati usianya yang ke-123.

Bangunan sederhana ini menjadi tempat yang sejuk dan sempurna untuk beribadah, serta menjadi salah satu gereja tertua se-Sumatera Selatan.

Tanjung Sakti juga dikenal sebagai pusat sejarah agama Katolik di Sumsel pada masa kolonial.

BACA JUGA:Meski Bikin Aneh, Ternyata Suku di Indonesia Pada Malam Pertama Ini Sangat unik!

Dua gereja tertua di Sumsel, di Desa Pajar Bulan dan Pagar Jati, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi.

Masih berdiri megah dan belum banyak mengalami perubahan sejak didirikan pada tahun 1932.

Namun, di balik keindahan bangunan ini, tersimpan cerita pilu umat jemaat pada masa penjajahan Katolik Jepang.

Pada masa penjajahan Jepang, tentara Jepang menuduh jemaat Tanjung Sakti sebagai antek Bendala yang dulu menjajah Indonesia.

BACA JUGA:Indonesia Kembali Membanggakan, Legenda Sejarah Penemuan Benda Purba!

Akibatnya, hampir seluruh umat Katolik di wilayah ini mengalami pembantaian.

Romo Titus, seorang pemimpin Gereja Santo Mikael, mengungkapkan bahwa sisa-sisa pembantaian dan pembantaian korban.

Makam-makam masih dapat ditemukan beberapa meter dari bangunan gereja.

Di antara makam tersebut, terdapat makam Pastur Van Camvel, yang merupakan Pastur pertama yang memasuki Sumatera Selatan.

BACA JUGA:Menyingkap Tabir! Cerita Legenda Gunung Slamet dari Gunung Agung Hingga Kunci Pulau Jawa!

Wilayah penyebaran agama Katolik dimulai dari Padang Sumatera Barat, melalui wilayah Bengkulu, dan kemudian sampai ke Tanjung Sakti.

Saat itu, Tanjung Sakti direncanakan sebagai pusat pemerintahan Bendala karena perkembangan agama Katolik begitu pesat di daerah tersebut.

Meskipun saat ini jumlah jemaat mencapai sekitar 400 orang, mereka telah tersebar di Tanjung Sakti Pumi dan Pumu.

Meskipun menyimpan cerita tragedi pembantaian, Tanjung Sakti juga dikenal karena tingginya toleransi antar umat beragama.

BACA JUGA:Temuan Istana di Tengah Hutan Jawa Timur, Milik Raja Airlangga, Putra Raja Bali, Benarkah?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: