Film Luar Biasa! The Flowers of War, Drama Sejarah Penuh Tangis (04)
PAGARALAMPOS.COM – Banyak penonton dan audiens yang sangat menyukai film ini.
Ya, selain unsur sejarah yang diangkat, alur cerita dan setiap adegan yang disuguhkan tidak terasa membosankan, serta secara konstan berhasil memancing emosi penonton.
BACA JUGA:Hanya di Indonesia, Tradisi Suku Ritualnya Kayak Beginian
Namun perlu diingat, bahwa film ini tidak cocok ditonton oleh anak-anak atau mereka yang tidak menyukai film yang penuh dengan air mata.
Ini bukan film bertema perang biasa yang penuh dengan aksi baku tembak, tetapi drama-sejarah yang ingin menonjolkan nilai kemanusiaan.
BACA JUGA:Hai Traveller, ke Indonesia Kamu Wajib Kunjungi 6 Desa Wisata Megalitikum Ini
Ketika film bertema perang lain menonjolkan drama di antara para prajurit —rasa takut, bimbang, kerinduan kepada keluarga, dan solidaritas— The Flowers of War justru menonjolkan sisi yang jarang dieksplorasi di layar lebar.
Sisi ketakutan yang dihadapi oleh warga sipil, khususnya kaum hawa, yang harus menghadapi ancaman dari para prajurit yang tidak hanya menjajah negaranya, tetapi bernafsu untuk memerkosa mereka.
BACA JUGA:5 Tradisi Aneh Tapi Memberikan Kenikmatan? Diantaranya Ritual Dengan Dukun Hingga Sunatan!
Drama Sejarah Penuh Tangis dan Darah: Mengambil setting di tengah pendudukan tentara Jepang di Nanking pada tahun 1937, film The Flowers of War berpusat di sebuah gereja dengan seorang warga Amerika bernama John Miller (Christian Bale).
John yang merupakan pengusaha pemakaman, datang ke Nanking untuk mengubur pastur yang mengepalai gereja tersebut dan bertemu dengan murid-murid gereja di dalamnya.
Tidak lama setelah kedatangannya, sekelompok pelacur flamboyan mendatangi gereja tersebut.
Mengingat pada saat itu warga dan institusi asing tidak disentuh oleh tentara Jepang, wanita-wanita tersebut mencari perlindungan di balik John, serta memintanya untuk membawa mereka keluar dari Nanking.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: