Berbagai catatan sejarah dari ilmuwan Belanda menggambarkan Papandayan sebagai gunung yang berbahaya, namun sekaligus memukau.
Papandayan juga sempat dijadikan lokasi eksplorasi belerang. Pada masa kolonial, beberapa titik di sekitar kawah menjadi tempat pengambilan sulfur secara tradisional.
Kegiatan ini berlangsung hingga awal abad ke-20 sebelum kemudian dihentikan karena kondisi yang tidak stabil.
BACA JUGA:Jejak Keemasan Kerajaan Sriwijaya: Sejarah, Kejayaan, dan Keruntuhannya!
Misteri Hutan Mati dan Kawah-kawah Berasap
Salah satu daya tarik Papandayan yang paling terkenal adalah kawasan Hutan Mati.
Area ini berupa hamparan pohon-pohon kering yang sudah tidak bernyawa akibat semburan belerang dan panas bumi dari letusan kecil beberapa dekade lalu.
Akar dan batang pohon yang menghitam menciptakan pemandangan dramatis yang sering disebut sebagai “lukisan alam dari bencana”.
Selain Hutan Mati, kawah-kawah belerang yang terus mengeluarkan asap juga menjadi bagian dari karakter Papandayan.
Aroma belerang yang tajam, suara gemuruh dari bawah tanah, serta semburan asap putih tebal memperlihatkan bahwa gunung ini masih menyimpan energi besar di dalamnya.
BACA JUGA:Strategi Licin Raden Wijaya: Membalik Serangan Pasukan Mongol Menjadi Kemenangan Besar di Tanah Jawa
Perkembangan sebagai Kawasan Wisata
Memasuki era modern, Gunung Papandayan mulai dikembangkan sebagai kawasan wisata alam yang ramah pengunjung. Jalur trekking yang relatif mudah membuat gunung ini cocok untuk pendaki pemula.
Selain itu, pemandangan alamnya sangat beragam dalam satu kawasan: mulai dari padang Edelweiss yang luas di Tegal Alun, Hutan Mati yang eksotis, hingga kawah-kawah aktif dengan banyak titik foto menarik.
Pemerintah daerah dan pengelola wisata terus melakukan penataan agar Papandayan tetap aman bagi pengunjung.
Meskipun begitu, status gunung ini tetap dipantau secara ketat oleh Pusat Vulkanologi karena Papandayan masih tergolong sebagai gunung api aktif.