Awan panas, abu vulkanik, dan aliran piroklastik menghancurkan segala kehidupan di sekitarnya. Suhu udara menurun drastis, dan langit berubah menjadi gelap selama berhari-hari.
Letusan tersebut memuntahkan sekitar 160 kilometer kubik material vulkanik, menjadikannya letusan gunung berapi paling besar yang tercatat dalam sejarah modern.
Diperkirakan lebih dari 71.000 jiwa meninggal dunia akibat letusan langsung maupun dampak kelaparan dan penyakit setelahnya. Kerajaan Tambora pun lenyap dari peta, terkubur di bawah lapisan tebal abu vulkanik.
Dampak Global: Tahun Tanpa Musim Panas
BACA JUGA:Mengulas Sejarah Gunung Tangkuban Perahu yang Penuh Legenda, Bikin Penasaran!
Efek letusan Gunung Tambora tidak hanya dirasakan di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Abu vulkanik yang terlempar ke atmosfer menyebabkan perubahan iklim global.
Tahun 1816 dikenal sebagai “The Year Without a Summer” atau “Tahun Tanpa Musim Panas” di Eropa dan Amerika Utara. Suhu menurun tajam, hujan turun terus-menerus, dan gagal panen terjadi di berbagai negara.
Bahkan, bencana ini memicu kelaparan besar di beberapa wilayah dunia.
Menariknya, peristiwa iklim ekstrem ini juga memengaruhi dunia sastra. Di tengah cuaca gelap dan dingin di Swiss, penulis Mary Shelley terinspirasi menulis novel legendarisnya, Frankenstein.
BACA JUGA:Bikin Penasaran! Inilah Sejarah Shafa dan Marwah, Dua Bukit dalam Ibadah Haji dan Umrah
Siapa sangka, karya sastra klasik itu lahir dari kegelapan yang ditinggalkan Tambora.
Penemuan Kembali dan Kajian Ilmiah
Selama hampir dua abad, keberadaan Kerajaan Tambora sempat dianggap legenda.
Namun, pada tahun 2004, tim arkeolog Indonesia berhasil menemukan sisa-sisa permukiman kuno di lereng gunung yang terkubur abu setebal beberapa meter.
Penemuan ini sering disebut sebagai “Pompeii dari Timur”, karena kondisi artefak dan rumah-rumahnya masih terjaga dengan baik akibat tertimbun material vulkanik.
BACA JUGA:Ketahui yuk! Inilah Fakta Menarik Gunung Bukittunggul, Sisa Letusan Gunung Sunda Purba di Bandung