Namun ketika lidi itu dicabut, keluar air yang terus mengalir tanpa henti hingga menenggelamkan seluruh desa. Konon, desa yang tenggelam itulah yang kini menjadi Danau Rawa Pening.
Kisah ini memberi pesan moral bahwa kesombongan dan penolakan terhadap makhluk ciptaan Tuhan dapat membawa bencana.
Hingga kini, legenda Baru Klinthing masih dijaga dalam tradisi lisan dan menjadi daya tarik wisata budaya di sekitar danau.
Peran Sejarah Rawa Pening
BACA JUGA:Sejarah Bukit Shafa dan Marwah: Jejak Suci dalam Perjalanan Ibadah Haji dan Umrah!
Selain legenda, Danau Rawa Pening juga memiliki nilai sejarah dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa.
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, danau ini menjadi salah satu wilayah penting karena posisinya yang strategis di jalur penghubung antara Semarang, Salatiga, dan Surakarta.
Bukti sejarah berupa artefak dan naskah kuno menunjukkan adanya perkampungan tua di sekitar danau. Pada masa kolonial Belanda, Rawa Pening dimanfaatkan sebagai sumber tenaga air.
Dari sinilah muncul pembangunan PLTA Tuntang pada awal abad ke-20, yang hingga kini masih beroperasi dan memanfaatkan aliran air dari danau untuk menghasilkan listrik.
BACA JUGA:Menyusuri Sungai Bersejarah yang Masih Mengalirkan Cerita Zaman Dulu
Dengan demikian, Rawa Pening bukan hanya menyimpan legenda, tetapi juga mencatat sejarah modernisasi di Jawa Tengah.
Ekologi dan Keanekaragaman Hayati
Selain nilai sejarah, Rawa Pening juga kaya akan ekosistem. Danau ini menjadi habitat bagi beragam jenis ikan air tawar seperti nila, lele, gabus, dan mujair.
Keberadaan danau ini juga mendukung mata pencaharian masyarakat setempat sebagai nelayan tradisional. Namun, ada masalah serius yang mengancam keberadaan Rawa Pening, yakni penyebaran eceng gondok.
BACA JUGA:Menyusuri Sungai Bersejarah yang Masih Mengalirkan Cerita Zaman Dulu
Tanaman air ini tumbuh sangat cepat dan menutupi permukaan danau, sehingga mengganggu ekosistem dan aktivitas perikanan.