Dari cerita inilah muncul tradisi Yadnya Kasada, yaitu upacara tahunan di mana masyarakat Tengger melemparkan sesaji berupa hasil bumi ke kawah Bromo sebagai bentuk penghormatan sekaligus menjaga keseimbangan alam.
Bromo di Masa Kerajaan
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, wilayah Gunung Bromo diyakini sebagai tempat yang dianggap suci. Ajaran Hindu yang dibawa oleh Kerajaan Majapahit sangat berpengaruh terhadap masyarakat sekitar.
Gunung Bromo dipandang sebagai tempat persemayaman para dewa, sehingga kegiatan ritual sering dilakukan di area pegunungan ini.
BACA JUGA:Sejarah Gunung Bukit Raya: Puncak Tertinggi Kalimantan yang Sarat Legenda!
Tradisi tersebut masih terjaga hingga kini, menjadikan kawasan Bromo bukan hanya objek wisata, tetapi juga pusat spiritual yang penting bagi masyarakat Tengger.
Masa Kolonial dan Perkembangan Wisata
Ketika Belanda menjajah Indonesia, kawasan Bromo mulai diperkenalkan sebagai salah satu destinasi wisata alam.
Catatan para penjelajah dan fotografer Belanda menggambarkan keindahan kawah Bromo dan lautan pasirnya yang menakjubkan.
BACA JUGA:Tunggul Ametung dalam Sejarah dan Mitos: Dari Tragedi Hingga Misteri Abadi
Sejak saat itu, nama Gunung Bromo semakin dikenal luas, baik oleh masyarakat lokal maupun wisatawan asing.
Pada masa kolonial pula mulai berkembang infrastruktur sederhana seperti jalur pendakian dan penginapan di sekitar gunung.
Setelah Indonesia merdeka, kawasan Gunung Bromo semakin sering dikunjungi wisatawan. Pada tahun 1982, pemerintah menetapkan kawasan ini sebagai bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Status tersebut diberikan untuk melindungi keanekaragaman hayati serta melestarikan budaya masyarakat Tengger.
Tradisi Yadnya Kasada
BACA JUGA:Jejak Sejarah, Filosofi, dan Simbol Kepemimpinan Suku Ende-Lio di Nusa Tenggara Timur