Salah satu legenda yang paling populer menyebutkan bahwa Gunung Kendeng tercipta dari perjalanan seorang tokoh sakti bernama Mbah Suro, atau dalam versi lain disebut Mbah Kendeng.
Dikisahkan bahwa Mbah Suro adalah seorang tokoh yang menolak keserakahan dan ingin menjaga keseimbangan alam.
Ketika banyak orang mulai merusak hutan dan mengambil hasil bumi tanpa memikirkan kelestariannya, Mbah Suro memilih bersemadi di wilayah perbukitan kapur ini.
Dari hasil tapa dan doanya, muncullah rangkaian bukit yang kemudian disebut Pegunungan Kendeng.
BACA JUGA:Pesona Wisata Malam Kota Tua yang Diselimuti Lampu Temaram Nan Romantis
Karena itulah, nama “Kendeng” dipercaya berasal dari kata “kendhang” atau “kendeng” yang berarti menyembunyikan sesuatu di dalam, merujuk pada gunung yang menyimpan rahasia alam.
Legenda lain mengaitkan Gunung Kendeng dengan masa Kerajaan Majapahit. Beberapa kisah menyebutkan bahwa kawasan ini menjadi salah satu titik pelarian prajurit Majapahit setelah kerajaan tersebut mengalami keruntuhan.
Para prajurit memilih menetap di kawasan perbukitan Kendeng yang sulit dijangkau untuk melanjutkan hidup. Dari cerita inilah muncul pandangan bahwa Gunung Kendeng adalah tempat “pelindungan” atau persembunyian.
Peran Gunung Kendeng dalam Kehidupan Sosial
BACA JUGA:Menyusuri Sungai Bersejarah yang Masih Mengalirkan Cerita Zaman Dulu
Bagi masyarakat setempat, Gunung Kendeng bukan hanya sekadar bentang alam. Sejak zaman dahulu, pegunungan ini menjadi sumber kehidupan yang menyediakan air, lahan pertanian, dan juga hasil hutan.
Di banyak desa sekitar, terdapat tradisi ritual adat yang disebut “sedekah bumi” atau “ruwatan bumi” sebagai bentuk syukur atas hasil pertanian yang mereka peroleh.
Selain itu, Gunung Kendeng juga memiliki makna simbolis dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa.
Banyak orang yang percaya bahwa kawasan ini dihuni oleh makhluk halus atau roh leluhur yang menjaga keseimbangan alam.
BACA JUGA:Misteri Jejak Kuno yang Tersembunyi di Balik Hutan Tua Akhirnya Terungkap
Oleh karena itu, sebagian masyarakat masih memegang teguh larangan-larangan tertentu, seperti tidak boleh sembarangan menebang pohon besar atau merusak gua di sekitar pegunungan.