Di kawasan Asia, Jepang pun menggunakan metode yang mirip. Mereka menyebarkan selebaran di Filipina yang merendahkan prajurit Amerika sekaligus menyinggung perempuan lokal.
Propaganda lain mengaitkan obat malaria bernama atabrine dengan isu impotensi permanen, membuat banyak tentara enggan meminumnya. Akibatnya, cukup banyak yang jatuh sakit karena mempercayai kabar bohong tersebut.
Taktik Balasan Sekutu
Sekutu tidak tinggal diam. Amerika pernah menyebarkan gambar satir Goebbels bersama wanita setengah telanjang, memanfaatkan reputasinya yang dikenal dekat dengan aktris.
Inggris juga menebarkan selebaran berupa menu pesta mewah elit Nazi yang dipadukan dengan ilustrasi cabul, dimaksudkan untuk membangkitkan kemarahan rakyat terhadap para pemimpin Jerman.
BACA JUGA:Ketika Sejarah Indonesia Nyaris Punah: Kisah Pemberontakan yang Terlupakan
Efektivitas Propaganda
Meski terdengar strategis, banyak sejarawan menilai propaganda seksual lebih sering gagal ketimbang berhasil. Konten vulgar justru menjadi hiburan bagi prajurit yang sedang berada dalam tekanan.
Sebaliknya, propaganda yang menyentuh sisi emosional, seperti menggambarkan istri atau keluarga yang terluka akibat perang, dinilai lebih efektif dalam melemahkan moral tempur.
Pemanfaatan gambar cabul dalam propaganda Perang Dunia II menunjukkan betapa luasnya variasi taktik perang psikologis yang dicoba.
Namun, hasilnya sering kali tidak sesuai harapan. Alih-alih menurunkan moral, selebaran justru menjadi hiburan di tengah ketegangan. Pada akhirnya, propaganda yang menyentuh perasaan personal jauh lebih berhasil dibanding sekadar menampilkan konten pornografi.