BACA JUGA:Gunung Sumantri: Jejak Sejarah dan Kisah Kepahlawanan di Atap Papua
Pertunjukan wayang pun sering dikaitkan dengan ritual adat dan keagamaan, seperti upacara ruwatan yang diyakini dapat menolak nasib buruk.
Dalang di masa lalu bahkan dipandang sebagai tokoh spiritual yang menguasai mantra dan ilmu kebatinan.
Bentuk Pertunjukan
Wayang Purwa umumnya dimainkan menggunakan wayang kulit yang dibuat dari kulit kerbau, dipahat dengan detail, lalu digerakkan di belakang kelir (layar tipis) yang diterangi lampu minyak atau lampu listrik.
Penonton dapat menyaksikan dari depan untuk melihat bayangan atau dari belakang untuk melihat wayang secara langsung.
Alunan gamelan Jawa menjadi pengiring utama, berpadu dengan suluk (nyanyian dalang) dan dialog antartokoh. Semua unsur ini mengikuti pakem yang diwariskan secara turun-temurun.
BACA JUGA:Sejarah Majapahit Tak Pernah Lengkap, Ini Alasannya
BACA JUGA:Suku Aru dan Warisan Bahari: Menyingkap Sejarah Peradaban Tua di Ujung Timur Nusantara
Pertunjukan biasanya berlangsung semalam suntuk, mulai dari pembukaan (jejer), klimaks pertempuran (perang kembang), hingga penutup (tancep kayon).
Eksistensi di Era Modern
Meski arus globalisasi dan budaya populer memberi tantangan, Wayang Purwa tetap bertahan. Upaya pelestarian dilakukan melalui festival budaya, pendidikan seni, hingga inovasi seperti pertunjukan digital, kolaborasi dengan animasi, dan pementasan kisah baru yang dikemas lebih modern.
Keindahan Wayang Purwa terletak pada kemampuannya beradaptasi tanpa kehilangan ruh tradisinya—membuatnya tetap relevan di hati masyarakat dan diakui sebagai bagian dari warisan budaya dunia.