BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Gedung Dwi Warna: Simbol Warisan Kolonial dan Nasionalisme!
Nama Sam Poo Kong digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada Cheng Ho, yang dalam sejarah lokal dianggap sebagai sosok pembawa kedamaian dan kesejahteraan.
Bangunan awal kelenteng sempat mengalami kerusakan akibat gempa dan usia, namun pada abad ke-18, komunitas Tionghoa di Semarang membangun ulang kelenteng tersebut dengan arsitektur khas Tiongkok.
Hingga kini, Sam Poo Kong berdiri megah dengan dominasi warna merah dan ornamen naga yang mencolok, mencerminkan perpaduan budaya Tiongkok dan Jawa.
Fungsi Religius dan Budaya
Meskipun dibangun oleh tokoh Muslim, Kelenteng Sam Poo Kong kini digunakan sebagai tempat ibadah bagi pemeluk kepercayaan Tionghoa.
Namun, hal ini justru menunjukkan keberagaman dan toleransi dalam sejarah kelenteng tersebut.
Setiap tahunnya, terutama saat perayaan ulang tahun Cheng Ho atau perayaan Cap Go Meh, ribuan orang dari berbagai latar belakang datang untuk berdoa, mengikuti kirab budaya, atau sekadar menikmati keindahan arsitektur dan atmosfer spiritual tempat ini.
Yang menarik, di area kompleks kelenteng terdapat beberapa bangunan lain seperti altar untuk pengikut Cheng Ho, patung-patung perwira setia Cheng Ho.
Hingga museum mini yang memuat informasi sejarah pelayaran dan kehidupan sang laksamana. Keberadaan tempat ini bukan hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi.
Simbol Toleransi dan Warisan Budaya
BACA JUGA:Menguak Sejarah Candi Tara: Keagungan Warisan Buddha dari Abad ke-8!
Sam Poo Kong bukan hanya ikon kota Semarang, tetapi juga simbol keharmonisan antarbudaya dan antaragama.
Dalam sejarahnya, kelenteng ini mencerminkan bagaimana interaksi antara pedagang, penjelajah, dan masyarakat lokal dapat menghasilkan akulturasi yang damai dan saling menghormati.
Keberadaan kelenteng ini menjadi bukti bahwa sejarah Indonesia dibentuk oleh berbagai pertemuan budaya, yang tak jarang membuahkan harmoni.