Anak-anak tumbuh dengan memori ketakutan, para orang tua kehilangan harapan, dan komunitas hidup dalam segregasi.
Kota Ambon terbagi menjadi dua wilayah yang kaku wilayah Kristen dan wilayah Muslim dipisahkan oleh garis tak kasat mata namun sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Namun manusia adalah makhluk harapan Di tengah kegelapan, muncul cahaya dari masyarakat sendiri.
Proses damai tidak lahir dari elite politik semata, tetapi justru dari akar rumput tokoh agama, pemuda lintas iman, dan masyarakat adat yang lelah hidup dalam ketakutan.
BACA JUGA:Memahami Sejarah Benteng Palasari: Jejak Kolonial di Bumi Bali!
Forum-forum dialog dibentuk, kesepakatan damai disusun, dan inisiatif lokal mulai menggeliat.
Salah satu momen penting adalah Perjanjian Malino II pada Februari 2002, yang menjadi tonggak awal penyembuhan luka.
Meski tidak menyelesaikan semua persoalan, perjanjian itu membuka pintu bagi rekonsiliasi dan pembangunan kembali kepercayaan.
Konflik Ambon 1999 menyisakan pelajaran yang mahal Ia mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang rapuh jika tidak dijaga dengan rasa saling menghargai.
BACA JUGA:Sejarah Benteng Mayangan Probolinggo: Jejak Perjuangan dan Warisan Kolonial di Pesisir Jawa Timur!
Ia juga membuktikan bahwa provokasi sekecil apapun bisa menjadi bara besar jika dibiarkan menyala tanpa penanganan bijak.
Dan yang paling penting, ia menunjukkan bahwa perdamaian bukan hadiah, tapi hasil kerja keras, ketulusan, dan keberanian untuk memaafkan.
Hari ini, Ambon perlahan kembali berdiri Kota ini telah menjadi simbol perdamaian, tempat di mana luka dipulihkan bukan dengan melupakan, tetapi dengan mengingat dan belajar.
Festival lintas agama, sekolah inklusif, dan ruang dialog terus diperluas. Anak-anak yang dulu tumbuh dalam konflik, kini tumbuh dalam semangat kebersamaan.
Konflik Ambon adalah luka sosial yang mendalam, tapi dari luka itulah muncul harapan baru. Sebuah pelajaran damai yang layak dijaga dan diwariskan untuk generasi mendatang.