Dibalik Penyerahan Jepang, Ledakan, Radiasi, dan Air Mata Tak Terlupakan

Sabtu 10-05-2025,21:20 WIB
Reporter : Yogi
Editor : Gelang

Puluhan ribu orang meninggal, tapi yang lebih parah dari kehancuran fisik adalah teror psikologis, ini bukan perang biasa, Ini kiamat dalam versi manusia.

Sebenarnya, sebelum bom atom dijatuhkan, kondisi Jepang sudah sangat kritis. 

Mereka dikepung dari semua sisi Kota-kota besar dibom habis-habisan. 

Pabrik-pabrik hancur, makanan langka, rakyat kelaparan, tapi satu hal yang membuat mereka terus bertahan adalah semangat Bushido pantang menyerah, bahkan sampai titik darah terakhir.

BACA JUGA:Hadirkan Solusi Smart City Global

Namun, ketika dua bom atom menghancurkan dua kota sekaligus, sesuatu mulai goyah. 

Bahkan para jenderal pun mulai ragu. 

Kaisar Hirohito, yang selama ini hanya jadi simbol, akhirnya turun tangan.

Pada 15 Agustus 1945, untuk pertama kalinya rakyat Jepang mendengar suara kaisar mereka lewat radio. Dalam pidato pendeknya yang terkenal, Hirohito menyebut bahwa “situasi perang tidak lagi menguntungkan bagi Jepang” dan bahwa bom atom telah “membawa kerusakan luar biasa.”

BACA JUGA:Perkuat Sinergi, Bahas Isu Strategis Perkotaan

Bagi bangsa yang mengagungkan kehormatan di atas segalanya, keputusan untuk menyerah bukan hal sepele. 

Tapi Hirohito sadar, jika perang diteruskan, bukan hanya Jepang yang hancur

seluruh masa depan bangsanya pun bisa musnah.

Maka, pada 2 September 1945, Jepang secara resmi menyerah di atas kapal perang AS USS Missouri. Perang Dunia II pun berakhir. 

BACA JUGA:Tarik Pungli, Tiga Preman Pasar Ini Diciduk Satreskrim

Dampak dari bom atom bukan hanya dua kota yang luluh lantak, Tapi juga. 

Kategori :