Habis gelap terbitlah terang,” kata Kartini.
Ungkapan ini bukan sekadar metafora puitis, melainkan cerminan perjuangan batinnya.
Ia percaya bahwa kebodohan adalah akar dari ketertinggalan perempuan, dan bahwa pendidikan adalah cahaya yang dapat membebaskan mereka.
Menurut Kartini, perempuan bukan hanya pelengkap laki-laki atau penjaga rumah tangga.
BACA JUGA:Mengulik Sejarah Gunung Api Banda: Sang Penjaga Rempah di Ujung Timur Indonesia!
Mereka memiliki hak untuk bermimpi, belajar, dan menciptakan sesuatu.
Surat-surat yang ditulis Kartini dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya) pada tahun 1911.
Buku ini tidak hanya terkenal di Belanda, tetapi juga menggugah kesadaran masyarakat pribumi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Gagasan-gagasan Kartini menjadi pemantik bagi kebangkitan nasional dan gerakan emansipasi perempuan yang kemudian berkembang pada awal abad ke-20.
BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Candi Kedulan: Menyingkap Jejak Masa Lalu di Lereng Merapi!
Warisan Kartini tidak berhenti pada teks.
Ia telah dianggap sebagai representasi perjuangan hak perempuan di Indonesia.
Negara memperingati Hari Kartini setiap 21 April untuk menghormati pikirannya dan semangatnya.
Di balik kebaya dan perayaan simbolik, seharusnya tersimpan tekad untuk meneruskan perjuangan yang telah ia mulai perjuangan agar perempuan bebas dari diskriminasi, mendapatkan pendidikan yang layak, dan menjadi bagian aktif dalam pembangunan bangsa.
BACA JUGA:Sejarah Masjid Tuo Kayu Jao: Jejak Islam di Ranah Minang yang Bertahan Berabad-abad!
Seratus tahun telah berlalu sejak Kartini menulis surat-suratnya.