Kedua orang itu akhirnya kembali ke Jakarta berkat bantuan Ahmad Subardjo.
Draf proklamasi pun dirumuskan.
Lagi-lagi, beda pandangan muncul.
Soekarno ingin teks yang emosional, penuh semangat revolusi.
Hatta menekankan kejelasan hukum dan kalimat yang tak bisa disalahartikan Sekutu.
Bahkan penandatanganan pun menjadi perdebatan Soekarno ingin semua tokoh terlibat, Hatta menolak Cukup kita berdua. Kita bertanggung jawab.
Dan pagi itu, 17 Agustus 1945, naskah pendek dibacakan.
Hanya beberapa baris, tapi mengguncang dunia.
Ini adalah deklarasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Tujuan.
Soekarno dan Hatta berdiri sejajar, tapi hati mereka tak sepenuhnya sejalan.
Di balik senyum kamera dan tepuk tangan massa, ada ketegangan intelektual dan emosional yang tak pernah benar-benar reda.
BACA JUGA:Sejarah Banjir yang Melanda Bandung pada Tahun 1945 dan Isu Sabotase dari Pasukan Sekutu
Sejarah mencatat keduanya sebagai proklamator. Tapi sejarah juga mencatat bahwa proklamasi lahir dari ketegangan, bukan dari harmoni. Justru karena perbedaan itulah kemerdekaan menjadi nyata. Soekarno dengan apinya, Hatta dengan logikanya. Dua kutub yang bertolak belakang, tapi justru saling menghidupkan.
Dan mungkin, di situlah kekuatan Indonesia sesungguhnya.