Cerita-cerita dalam pertunjukan wayang biasanya mengandung ajaran tentang kebenaran (dharma), keadilan, pengorbanan, dan tanggung jawab.
Dalam pertunjukannya, dalang sebagai narator dan pengendali lakon memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan luhur kepada penonton.
Pertunjukan wayang juga memiliki hubungan erat dengan ritual keagamaan dan adat istiadat masyarakat.
Di masa lalu, wayang sering ditampilkan dalam upacara-upacara penting seperti ruwatan, yakni ritual untuk membebaskan seseorang dari pengaruh buruk atau nasib sial.
Selain itu, dalang bukan hanya sekadar seniman, melainkan juga tokoh spiritual yang dianggap memiliki kemampuan khusus, termasuk penguasaan terhadap mantra dan ilmu kebatinan.
BACA JUGA:Sejarah Danau Situ Burung: Menyingkap Legenda, Jejak Kolonial, dan Upaya Pelestarian Alam!
Bentuk dan Media Pertunjukan
Wayang Purwa tradisional biasanya dimainkan dengan menggunakan wayang kulit—tokoh-tokoh yang dipahat dari kulit kerbau dan digerakkan di balik kelir (layar tipis) yang diterangi oleh lampu minyak atau sekarang lampu listrik.
Penonton duduk di kedua sisi kelir, baik di depan untuk menikmati bayangan maupun di belakang untuk melihat langsung wayangnya.
Alat musik pengiringnya adalah gamelan Jawa, yang menambah nuansa magis dan sakral dalam pertunjukan.
Setiap tabuhan gamelan, suluk (nyanyian dalang), dan dialog antartokoh dilakukan dengan irama dan intonasi yang telah diturunkan secara turun-temurun.
Pertunjukan wayang bisa berlangsung semalam suntuk, dimulai dari adegan pembukaan (jejer) hingga klimaks pertarungan (perang kembang) dan penyelesaian (tancep kayon), yang menandai akhir cerita.
Perkembangan di Era Modern
Di tengah arus globalisasi dan perubahan zaman, Wayang Purwa tetap bertahan meski menghadapi tantangan besar.
Modernisasi membawa dampak pada selera penonton, terutama generasi muda yang lebih akrab dengan budaya populer dan teknologi digital.