PAGARALAMPOS.COM - Perang Dunia II bukan hanya sekadar bentrokan senjata antara Blok Sekutu dan Blok Poros, lebih dari itu, era tersebut juga menjadi ajang adu propaganda, termasuk di dalamnya propaganda yang mengandung unsur pornografi dan gambar-gambar cabul.
Bagaimana cerita ini bermula?
Bagaimana cerita ini bermula?
Konflik besar ini semakin meluas dengan meletusnya Perang Pasifik pada 7 Desember 1941, yang menandai keterlibatan hampir seluruh dunia dalam peperangan. Selain hujan bom, selebaran-selebaran cabul juga bertebaran, yang dikenal sebagai propaganda pornografi.
BACA JUGA:Bagaimana Sejarah Perang Dunia II dan Balasan Propaganda Cabul: Gambar Saru Tentara Sekutu!
Apa alasan memasukkan elemen pornografi dalam strategi peperangan?
Prof. Paul Linebarger, dalam karyanya "Psychological Warfare", mengungkapkan bahwa pikiran kebanyakan prajurit muda dipenuhi dengan keinginan seksual. Sehingga, selebaran porno ini dimaksudkan untuk membangkitkan gairah mereka.
Di garis depan, di mana akses untuk menyalurkan gairah tersebut sulit didapat, harapannya adalah semangat tempur mereka dapat terjaga. Namun, apakah selebaran tersebut benar-benar memberikan dampak yang diharapkan?
Apa alasan memasukkan elemen pornografi dalam strategi peperangan?
Prof. Paul Linebarger, dalam karyanya "Psychological Warfare", mengungkapkan bahwa pikiran kebanyakan prajurit muda dipenuhi dengan keinginan seksual. Sehingga, selebaran porno ini dimaksudkan untuk membangkitkan gairah mereka.
Di garis depan, di mana akses untuk menyalurkan gairah tersebut sulit didapat, harapannya adalah semangat tempur mereka dapat terjaga. Namun, apakah selebaran tersebut benar-benar memberikan dampak yang diharapkan?
Apakah para prajurit yang menjadi "korban serangan" itu mengalami penurunan emosi sehingga tidak mampu melaksanakan tugas sehari-hari?
BACA JUGA:Pencurian Senjata Polri di Puncak Jaya, Kaops Damai Cartenz : Itu Informasi Hoaks, Propaganda KKB
Nyatanya, "gambar-gambar jorok" itu justru menjadi hiburan dan barang koleksi yang beredar di kalangan prajurit. Mereka malah meningkatkan semangat juang di medan perang.
Seorang prajurit Amerika dari Divisi Infanteri ke-35 yang menerima selebaran porno ini pada Februari 1945 menyatakan, Kami justru menggunakannya sebagai kertas toilet.
Nyatanya, "gambar-gambar jorok" itu justru menjadi hiburan dan barang koleksi yang beredar di kalangan prajurit. Mereka malah meningkatkan semangat juang di medan perang.
Seorang prajurit Amerika dari Divisi Infanteri ke-35 yang menerima selebaran porno ini pada Februari 1945 menyatakan, Kami justru menggunakannya sebagai kertas toilet.
Pernyataan ini dikuatkan oleh Marsekal Udara Sir Arthur Harris dari RAF, yang mengatakan, "Menurut pendapat saya, manfaat yang diperoleh dari penyebaran selebaran tersebut hanyalah untuk memenuhi kebutuhan kertas toilet di Eropa selama lima tahun perang.
Josef Goebbels, Menteri Penerangan dan Propaganda Nazi di bawah kepemimpinan Hitler, mengedar jutaan selebaran yang menggambarkan tentara Prancis dalam keadaan lelah dan kotor di garis depan, sementara wanita-wanita Prancis berada dalam pelukan tentara Inggris di belakang garis.
Pernyataan di pengeras suara berulang kali menegaskan bahwa tentara Inggris tidak berada di Garis Maginot, melainkan berjaga di belakang bersama wanita-wanita Prancis tercinta mereka.
Josef Goebbels, Menteri Penerangan dan Propaganda Nazi di bawah kepemimpinan Hitler, mengedar jutaan selebaran yang menggambarkan tentara Prancis dalam keadaan lelah dan kotor di garis depan, sementara wanita-wanita Prancis berada dalam pelukan tentara Inggris di belakang garis.
Pernyataan di pengeras suara berulang kali menegaskan bahwa tentara Inggris tidak berada di Garis Maginot, melainkan berjaga di belakang bersama wanita-wanita Prancis tercinta mereka.
BACA JUGA:Bagaimana Sejarah Perang Dunia II dan Balasan Propaganda Cabul: Gambar Saru Tentara Sekutu!
Kertas Tisue "Ajaib"
Sefton Delmer, seorang wartawan angkatan bersenjata Prancis, masih mengingat kunjungannya ke front Prancis pada tahun 1939. Ia melihat sehelai selebaran berbahan kertas tisue yang sangat tipis.
Kertas Tisue "Ajaib"
Sefton Delmer, seorang wartawan angkatan bersenjata Prancis, masih mengingat kunjungannya ke front Prancis pada tahun 1939. Ia melihat sehelai selebaran berbahan kertas tisue yang sangat tipis.
Ketika kertas tersebut ditempatkan di bawah sinar matahari atau lampu, muncul gambar seorang tentara Inggris ("Tommy") berzina dengan wanita yang dianggap tunangan seorang prajurit Prancis.
Variasi gambar semacam ini memang banyak, dan Nazi juga menjatuhkan kartu serupa kepada tentara Amerika.
Di Polandia, kartu-kartu yang berisi propaganda untuk membangkitkan kebencian terhadap Bolshevik dijatuhkan, meskipun mengingat perlakuan Jerman terhadap orang Polandia, efektivitasnya diragukan.
Salah satu gambar menunjukkan pengantin pria memandang mesra pengantin wanita di hadapan pastor.
Di Polandia, kartu-kartu yang berisi propaganda untuk membangkitkan kebencian terhadap Bolshevik dijatuhkan, meskipun mengingat perlakuan Jerman terhadap orang Polandia, efektivitasnya diragukan.
Salah satu gambar menunjukkan pengantin pria memandang mesra pengantin wanita di hadapan pastor.
Namun, ketika kertas itu disinari cahaya, muncul gambar tentara Rusia yang tampak seperti monster sedang memperkosa pengantin wanita, sementara pengantin pria terbaring tak bernyawa di belakangnya.
Pada tahun 1944, tentara Sekutu di Normandia menemukan kartu-kartu bergambar tentara yang telah tewas, namun saat dibalik, muncul gambar lain yang menunjukkan seorang pria kulit hitam memperkosa wanita kulit putih, disertai tulisan "Black wins" (Si Hitam menang).
Pada tahun 1944, tentara Sekutu di Normandia menemukan kartu-kartu bergambar tentara yang telah tewas, namun saat dibalik, muncul gambar lain yang menunjukkan seorang pria kulit hitam memperkosa wanita kulit putih, disertai tulisan "Black wins" (Si Hitam menang).
Memecah belah memang menjadi tujuan utama banyak selebaran yang diproduksi oleh Nazi. Mereka berusaha memisahkan tentara Amerika dari sekutu-sekutunya, memecah hubungan antara tentara dan warga sipil yang 'nyaman' di rumah, serta menciptakan ketegangan antara orang Kristen dan Yahudi, serta antara orang kulit putih dan kulit hitam.
Pada awal tahun 1944, Nazi menerbitkan serangkaian selebaran anti-Yahudi yang disebarkan kepada pasukan Sekutu yang terjebak di pantai Anzio.
Setiap selebaran menceritakan kehidupan Sam Levy, yang konon datang dari Eropa Timur sebagai penumpang geladak kapal, namun berhasil meraih kekayaan di Amerika saat orang-orang Kristen berjuang membela negara mereka.
Dalam narasi tersebut, diceritakan bahwa Sam menggoda kekasih seorang tentara AS yang sedang terluka di medan perang. Dalam seri terakhir selebaran itu, terlihat Sam dan Joan memasuki sebuah mobil, sambil diawasi oleh seorang tentara berkaki satu yang berdiri di dekatnya.
Gambar-gambar yang disajikan dalam selebaran tersebut dilengkapi dengan teks berbentuk cerita, disusun dengan cukup baik.
Dalam narasi tersebut, diceritakan bahwa Sam menggoda kekasih seorang tentara AS yang sedang terluka di medan perang. Dalam seri terakhir selebaran itu, terlihat Sam dan Joan memasuki sebuah mobil, sambil diawasi oleh seorang tentara berkaki satu yang berdiri di dekatnya.
Gambar-gambar yang disajikan dalam selebaran tersebut dilengkapi dengan teks berbentuk cerita, disusun dengan cukup baik.
Namun, usaha mereka untuk melemahkan semangat juang ternyata tidak berhasil, karena selebaran yang berisi unsur-unsur seksual justru dianggap sebagai hiburan, bukan sesuatu yang dapat membuat pembacanya merasa depresi.
Tentara AS, dalam kondisi terdesak di tengah hujan peluru, tetap berusaha mendapatkan selebaran-selebaran tersebut karena mereka haus akan bacaan.
Selain itu, Nazi juga membuat selebaran yang menggambarkan tentara Inggris, Tommy, berjuang dengan gigih, sementara tentara Amerika atau GI (istilah umum untuk menyebut tentara AS) terlihat bersenang-senang dengan wanita-wanita di Inggris atau mengganggu gadis-gadis Inggris yang tidak berdaya.
Tentara AS, dalam kondisi terdesak di tengah hujan peluru, tetap berusaha mendapatkan selebaran-selebaran tersebut karena mereka haus akan bacaan.
Selain itu, Nazi juga membuat selebaran yang menggambarkan tentara Inggris, Tommy, berjuang dengan gigih, sementara tentara Amerika atau GI (istilah umum untuk menyebut tentara AS) terlihat bersenang-senang dengan wanita-wanita di Inggris atau mengganggu gadis-gadis Inggris yang tidak berdaya.
Jerman berusaha memecah belah hubungan antara para perwira dengan prajurit bawahan mereka. Mereka menggambarkan prajurit-prajurit Amerika yang terkena luka dan menjalani operasi, sementara para perwira terlihat bersenang-senang dengan wanita-wanita setengah telanjang.
Ketika Italia mengajukan permintaan untuk berdamai dengan Sekutu pada 8 September 1943, pihak Nazi segera menyebarkan selebaran untuk mencoreng nama mantan sekutunya tersebut.
Tentara AS diberikan nasihat untuk menularkan diri mereka dengan infeksi menular seksual gonore yang dikenal sebagai "jenis Napoli", yang kabarnya sulit diobati. Jika mereka terjangkit penyakit itu, mereka akan dikirim pulang ke Amerika Serikat.
Untuk mendapatkan penyakit tersebut, mereka harus berhubungan dengan wanita-wanita Italia. Selain itu, propaganda tentang penyakit menular juga disebarkan, menyebutkan bahwa prevalensi penyakit kelamin semakin meningkat di kalangan wanita dari negara musuh, di mana 84% dari mereka adalah istri tentara AS yang suaminya sedang bertugas di luar negeri.
Jepang menggunakan taktik serupa dengan menyebarkan selebaran di Filipina yang seolah-olah berasal dari tentara AS. Selebaran itu memperingatkan tentara AS bahwa wanita Filipina mudah menyerah pada mereka jika diberi sedikit makanan, dan bahwa warga Filipina tidak mengerti tentang kebersihan sehingga berpotensi menjadi pembawa penyakit. Tujuan selebaran ini jelas untuk membangkitkan kebencian masyarakat terhadap tentara AS.
Tentara AS dibekali dengan atabrine, pil yang harus diminum tiga kali sehari untuk mencegah malaria. Namun, Jepang berhasil menciptakan persepsi bahwa pil tersebut bisa menyebabkan impoten permanen, membuat banyak prajurit, terutama yang berpendidikan rendah, enggan mengkonsumsinya dan akibatnya mereka menderita malaria.
Ketika Italia mengajukan permintaan untuk berdamai dengan Sekutu pada 8 September 1943, pihak Nazi segera menyebarkan selebaran untuk mencoreng nama mantan sekutunya tersebut.
Tentara AS diberikan nasihat untuk menularkan diri mereka dengan infeksi menular seksual gonore yang dikenal sebagai "jenis Napoli", yang kabarnya sulit diobati. Jika mereka terjangkit penyakit itu, mereka akan dikirim pulang ke Amerika Serikat.
Untuk mendapatkan penyakit tersebut, mereka harus berhubungan dengan wanita-wanita Italia. Selain itu, propaganda tentang penyakit menular juga disebarkan, menyebutkan bahwa prevalensi penyakit kelamin semakin meningkat di kalangan wanita dari negara musuh, di mana 84% dari mereka adalah istri tentara AS yang suaminya sedang bertugas di luar negeri.
Jepang menggunakan taktik serupa dengan menyebarkan selebaran di Filipina yang seolah-olah berasal dari tentara AS. Selebaran itu memperingatkan tentara AS bahwa wanita Filipina mudah menyerah pada mereka jika diberi sedikit makanan, dan bahwa warga Filipina tidak mengerti tentang kebersihan sehingga berpotensi menjadi pembawa penyakit. Tujuan selebaran ini jelas untuk membangkitkan kebencian masyarakat terhadap tentara AS.
Tentara AS dibekali dengan atabrine, pil yang harus diminum tiga kali sehari untuk mencegah malaria. Namun, Jepang berhasil menciptakan persepsi bahwa pil tersebut bisa menyebabkan impoten permanen, membuat banyak prajurit, terutama yang berpendidikan rendah, enggan mengkonsumsinya dan akibatnya mereka menderita malaria.
Jepang juga menggunakan selebaran untuk menunjukkan bahwa tentara AS memperkosa wanita-wanita setempat, berpura-pura menjadi penyelamat.
Di Malaya, Jepang menyebarkan selebaran yang menghasut penduduk untuk melawan Inggris, utamanya dengan menggambarkan tentara Inggris yang memperlakukan wanita-wanita Malaya secara tidak hormat.
Bukan hanya Jerman dan Jepang yang menggunakan pornografi sebagai strategi perang; Amerika juga melakukannya. Kantor Penerangan Perang AS membuat gambar-gambar yang menampilkan Goebbels dalam posisi memangku wanita setengah telanjang. Goebbels sendiri dikenal memiliki ketertarikan pada wanita dan sempat memiliki simpanan perempuan aktris.
Setidaknya terdapat tiga buku yang mengungkap bahwa Amerika menggunakan konten pornografi selama Perang Dunia II sebagai bagian dari strategi mereka: "The Spymasters" oleh Charles Whiting, "The Secret History of America’s First Intelligence Agency" oleh R. Harris Smith, dan sebuah dokumen "Final Report of Production and Distribution from July 15, 1944 to May 15, 1945. "
Dalam bukunya, R. Harris Smith mencatat bahwa sekelompok psikoanalis berpendapat bahwa rezim totaliter Nazi dapat dihancurkan jika Hitler ditundukkan secara psikologis. Tanpa kontrol kuat dari Fuhrer, negara itu tidak akan bisa bertahan.
Bertumpuk-tumpuk materi pornografi dirancang untuk dijatuhkan oleh pesawat pembom di dekat markas besar Hitler, dengan harapan Fuhrer akan keluar, melihat foto-foto wanita telanjang dalam berbagai pose menggoda, dan kemudian mengalami keruntuhan mental yang parah.
Namun, beberapa perwira menganggap gagasan tersebut gila dan menyatakan bahwa tidak ada penerbang angkatan udara yang bersedia mengambil risiko untuk melaksanakan rencana tersebut. Versi lain berpendapat bahwa rencana ini tidak dilaksanakan karena kekurangan pesawat. Inggris pun mengakui bahwa mereka menyebarkan gambar dengan konten pornografi di garis depan Jerman.
Di Malaya, Jepang menyebarkan selebaran yang menghasut penduduk untuk melawan Inggris, utamanya dengan menggambarkan tentara Inggris yang memperlakukan wanita-wanita Malaya secara tidak hormat.
Bukan hanya Jerman dan Jepang yang menggunakan pornografi sebagai strategi perang; Amerika juga melakukannya. Kantor Penerangan Perang AS membuat gambar-gambar yang menampilkan Goebbels dalam posisi memangku wanita setengah telanjang. Goebbels sendiri dikenal memiliki ketertarikan pada wanita dan sempat memiliki simpanan perempuan aktris.
Setidaknya terdapat tiga buku yang mengungkap bahwa Amerika menggunakan konten pornografi selama Perang Dunia II sebagai bagian dari strategi mereka: "The Spymasters" oleh Charles Whiting, "The Secret History of America’s First Intelligence Agency" oleh R. Harris Smith, dan sebuah dokumen "Final Report of Production and Distribution from July 15, 1944 to May 15, 1945. "
Dalam bukunya, R. Harris Smith mencatat bahwa sekelompok psikoanalis berpendapat bahwa rezim totaliter Nazi dapat dihancurkan jika Hitler ditundukkan secara psikologis. Tanpa kontrol kuat dari Fuhrer, negara itu tidak akan bisa bertahan.
Bertumpuk-tumpuk materi pornografi dirancang untuk dijatuhkan oleh pesawat pembom di dekat markas besar Hitler, dengan harapan Fuhrer akan keluar, melihat foto-foto wanita telanjang dalam berbagai pose menggoda, dan kemudian mengalami keruntuhan mental yang parah.
Namun, beberapa perwira menganggap gagasan tersebut gila dan menyatakan bahwa tidak ada penerbang angkatan udara yang bersedia mengambil risiko untuk melaksanakan rencana tersebut. Versi lain berpendapat bahwa rencana ini tidak dilaksanakan karena kekurangan pesawat. Inggris pun mengakui bahwa mereka menyebarkan gambar dengan konten pornografi di garis depan Jerman.
Mereka juga memanfaatkan taktik pemecah belah dengan menggambarkan gadis-gadis Jerman yang berhubungan intim dengan tentara berambut hitam (Italia), padahal saat itu Jerman sangat berusaha menjaga citra "ras arya" mereka.
Foto-foto istri atau kekasih yang terlihat sedih juga terbukti lebih efektif dalam propaganda.
Salah satu materi propaganda yang disebarkan oleh Inggris selama Perang Dunia II adalah sebuah daftar menu untuk perjamuan di pesta Nazi.
Foto-foto istri atau kekasih yang terlihat sedih juga terbukti lebih efektif dalam propaganda.
Salah satu materi propaganda yang disebarkan oleh Inggris selama Perang Dunia II adalah sebuah daftar menu untuk perjamuan di pesta Nazi.
Menu tersebut menyajikan berbagai hidangan mahal yang langka di masa perang, dan di tepinya terdapat gambar pria dan wanita dalam adegan-adegan yang menggugah gairah.
Menariknya, masyarakat Jerman juga mengoleksi selebaran-selebaran ini sebagai barang kenang-kenangan, bahkan ada yang memperdagangkannya di antara tentara. Di sisi lain, Inggris pun tidak ketinggalan dalam melakukan strategi penipuan, yang bisa Anda baca dalam buku *The Big Lie* karya John Baker White.
Di tengah pendudukan Yunani oleh tentara Jerman, mereka menerima kartu-kartu yang menampilkan gambar pria-pria Italia yang romantis dan pria-pria Norwegia yang gagah, seolah-olah mereka diundang untuk menginap di rumah-rumah tentara Jerman yang terpisah ribuan kilometer dari rumah mereka sendiri.
Armin Hull, yang merancang dan mencetak gambar-gambar tersebut, berpendapat bahwa strategi ini hanyalah buang-buang waktu. Para ahli sejarah sepakat bahwa untuk membuat propaganda yang efektif, informasi yang disampaikan haruslah akurat.
Menariknya, masyarakat Jerman juga mengoleksi selebaran-selebaran ini sebagai barang kenang-kenangan, bahkan ada yang memperdagangkannya di antara tentara. Di sisi lain, Inggris pun tidak ketinggalan dalam melakukan strategi penipuan, yang bisa Anda baca dalam buku *The Big Lie* karya John Baker White.
Di tengah pendudukan Yunani oleh tentara Jerman, mereka menerima kartu-kartu yang menampilkan gambar pria-pria Italia yang romantis dan pria-pria Norwegia yang gagah, seolah-olah mereka diundang untuk menginap di rumah-rumah tentara Jerman yang terpisah ribuan kilometer dari rumah mereka sendiri.
Armin Hull, yang merancang dan mencetak gambar-gambar tersebut, berpendapat bahwa strategi ini hanyalah buang-buang waktu. Para ahli sejarah sepakat bahwa untuk membuat propaganda yang efektif, informasi yang disampaikan haruslah akurat.
Jika mereka percaya pada kebenaran informasi tersebut, mereka akan merasa terpengaruh. Sebaliknya, jika terbukti bohong, itu hanya akan membuat mereka menjadi bahan lelucon.
Pornografi kasar seperti yang banyak diproduksi selama perang tidak terbukti efektif. Penelitian menunjukkan bahwa selebaran yang secara eksplisit menampilkan tindakan seksual cenderung meningkatkan semangat juang, bukan meruntuhkannya.
Pornografi kasar seperti yang banyak diproduksi selama perang tidak terbukti efektif. Penelitian menunjukkan bahwa selebaran yang secara eksplisit menampilkan tindakan seksual cenderung meningkatkan semangat juang, bukan meruntuhkannya.
Kekuatan besar saat ini sudah memahami hal ini dan enggan untuk menghibur tentara musuh yang merasa kesepian di garis depan.
Lebih efektif adalah gambar-gambar yang menggambarkan istri atau kekasih yang sedih atau menangis. Kedua belah pihak sama-sama menggunakan pendekatan ini selama Perang Korea, di mana istri digambarkan duduk sambil menangis di rumah, mengekspresikan betapa sedihnya mereka ditinggal oleh suami. Teknik yang serupa juga diterapkan selama Perang Vietnam.
Lebih efektif adalah gambar-gambar yang menggambarkan istri atau kekasih yang sedih atau menangis. Kedua belah pihak sama-sama menggunakan pendekatan ini selama Perang Korea, di mana istri digambarkan duduk sambil menangis di rumah, mengekspresikan betapa sedihnya mereka ditinggal oleh suami. Teknik yang serupa juga diterapkan selama Perang Vietnam.