Secara spesifik, Supersemar memberi mandat kepada Soeharto untuk melakukan pengamanan terhadap kondisi negara yang semakin memburuk, termasuk pembubaran PKI dan penguatan kontrol militer atas pemerintah.
BACA JUGA:Penasaran dengan Sejarah Palembang? Ini Dia 6 Tempat yang Wajib Dikunjungi!
Supersemar juga bertujuan untuk memberikan legitimasi hukum bagi Soeharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu tanpa harus melalui prosedur konstitusional yang biasa.
Dalam dokumen tersebut, Soekarno menegaskan pentingnya pelaksanaan kebijakan pemulihan ketertiban nasional, yang pada saat itu menjadi sangat prioritas.
Dampak Supersemar
Dampak dari keluarnya Supersemar sangat besar dalam sejarah politik Indonesia.
Supersemar secara tidak langsung menjadi pintu masuk bagi Soeharto untuk mengonsolidasi kekuasaan dan memulai apa yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru.
BACA JUGA:Ingin Menyaksikan Keindahan Cirebon? Yuk, Temukan Tempat Wisata Penuh Sejarah di Sini!
Meskipun pada awalnya Soekarno tetap bertahan sebagai Presiden, namun pengaruh Soeharto sebagai pemegang kekuasaan yang sah semakin kuat.
Dalam beberapa bulan setelah keluarnya Supersemar, Soeharto berhasil memperlemah posisi Soekarno dan akhirnya pada 22 Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden menggantikan Soekarno.
Salah satu dampak besar lainnya adalah perubahan sistem pemerintahan dan politik di Indonesia.
Orde Baru yang digagas oleh Soeharto membawa perubahan signifikan, termasuk penguatan militer dalam struktur pemerintahan, pemberantasan PKI, dan pemberlakuan kebijakan ekonomi yang lebih terbuka.
BACA JUGA:Ingin Tahu Sejarah Kota Prabumulih yang Menakjubkan? Catat 6 Fakta Ini!
Kebijakan-kebijakan tersebut seringkali diiringi dengan pembatasan kebebasan politik dan pengawasan ketat terhadap oposisi.
Namun, dampak negatif dari Supersemar juga sangat terasa. Kepemimpinan Soeharto yang lebih otoriter memunculkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembatasan kebebasan berekspresi dan penindasan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap ancaman politik.
Proses transisi yang dipercepat tanpa proses demokratis juga menyisakan banyak kontroversi, terutama terkait dengan bagaimana Soeharto memperoleh legitimasi kekuasaannya.