Selama lima hari penyanderaan, gadis tersebut diberi kesempatan untuk mengenal lebih dekat calon suaminya.
BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Bahasa Besemah: Salah Satu Bahasa Tertua di Indonesia!
Proses ini memungkinkan dia untuk menilai apakah dia merasa nyaman dan cocok dengan pemuda tersebut.
Selama waktu ini, keluarga sang gadis tidak dapat mengintervensi keputusan tersebut, karena dalam pandangan Suku Gipsi, keinginan individu lebih penting daripada kehendak keluarga dalam hal pernikahan.
Pengakuan dan Pernikahan
Jika setelah lima hari sang gadis tidak melarikan diri dan memilih untuk tetap bersama pemuda yang menculiknya, maka secara tradisional mereka dianggap telah menikah.
Meskipun ini adalah hal yang sangat kontroversial di mata banyak budaya modern, dalam konteks komunitas Gipsi, ini adalah cara yang sah dan diterima untuk memulai hubungan pernikahan.
BACA JUGA:Bukan Cuma Makanan, Tapi Sejarah Bakwan yang Menarik! Tahu Tidak?
Setelah lima hari berlalu, pernikahan dianggap sah, dan pasangan yang baru ini kembali ke komunitas mereka.
Proses ini sering kali dilanjutkan dengan upacara pernikahan yang lebih formal, tergantung pada wilayah dan adat yang berlaku.
Meskipun tidak ada paksaan dalam hal ini, dan gadis tersebut memiliki kesempatan untuk memilih, dalam banyak kasus tradisi ini tetap dianggap sebagai bagian penting dari kehidupan sosial dan budaya mereka.
Kontroversi dan Perubahan
Meskipun tradisi Marime sudah ada selama berabad-abad, saat ini tradisi ini semakin jarang dilakukan, terutama karena adanya tekanan dari masyarakat modern dan hukum yang melarang penculikan dan penyanderaan.
BACA JUGA:Apa yang Membuat Kurma Begitu Khas dan Penuh Sejarah? Simak Penjelasannya!
Pemerintah di banyak negara telah menganggap tradisi ini sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Namun, bagi sebagian kelompok Gipsi, tradisi ini tetap menjadi bagian integral dari identitas mereka dan cara mereka mempertahankan nilai-nilai adat.