Rumah tradisional Suku Mentawai disebut uma. Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan spiritual.
BACA JUGA:Peradaban Suku Maya. Peninggalan Sejarah Terbesar Dunia
Uma dibangun dengan desain yang mempertimbangkan keutuhan ekosistem sekitar.
Ketika membangun uma, mereka menggunakan teknik tradisional yang diwariskan turun-temurun.
Kayu-kayu yang digunakan disusun dan diikat dengan tali rotan, bukan dipaku.
Hal ini dilakukan bukan semata-mata karena keterbatasan teknologi, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap kayu yang diambil dari hutan.
BACA JUGA:7 Ulama yang Terkenal Perjuangannya dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia
Kayu yang digunakan dianggap memiliki nyawa.
Memaku kayu dianggap sebagai tindakan menyakiti atau melukai roh yang ada di dalamnya.
Dengan mengikat kayu menggunakan rotan, mereka percaya bahwa kayu tetap "hidup" dan menjadi bagian harmoni dari rumah yang dibangun.
Keberlanjutan dan Filosofi Hidup
Tradisi membangun rumah tanpa paku juga mencerminkan filosofi keberlanjutan yang sangat relevan dengan isu lingkungan modern.
BACA JUGA:Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928: Tonggak Sejarah Persatuan dalam Perjuangan Bangsa
Rumah yang dibangun dengan tali rotan lebih ramah lingkungan karena bahan-bahannya mudah terurai secara alami.
Selain itu, teknik ini memungkinkan rumah lebih fleksibel terhadap perubahan cuaca atau gempa, yang merupakan kondisi umum di wilayah Mentawai.
Pemikiran ini mengajarkan bahwa manusia tidak seharusnya memaksakan kehendaknya terhadap alam.