Apa Penyebab Munculnya Konflik Anti Tionghoa Dalam Sejarah Indonesia? Begini Kisahnya!

Jumat 08-11-2024,13:34 WIB
Reporter : Jukik
Editor : Jukik

Akibat permusuhan ini, nasib orang Tionghoa sangat memprihatinkan. 

Diperkirakan sekitar 25.000 orang Tionghoa campuran atau peranakan berada dalam bahaya besar, dan pembantaian terhadap mereka terjadi di berbagai tempat, termasuk di Yogyakarta. 

Serangan ini melibatkan tidak hanya pria dewasa, tetapi juga wanita dan anak-anak. 

Kejadian ini diungkapkan oleh seorang seniman Belgia bernama Payen, yang tinggal di Yogyakarta saat itu dan mencatat peristiwa tersebut dalam buku hariannya. 

BACA JUGA:Sejarah Pura Giri Arjuno: Warisan Budaya Hindu Dharma di Lereng Gunung Arjuno

Hal ini menunjukkan betapa tragisnya kondisi komunitas Tionghoa di bawah pemerintahan Pangeran Diponegoro.

Selain di Yogyakarta, komunitas Tionghoa di wilayah Bagelen juga turut mengalami kesulitan.

Pusat-pusat kerajinan tenun yang dikelola oleh etnis Tionghoa di daerah Jono dan Wedi diserang, dan mereka terpaksa membangun benteng dan kubu-kubu pertahanan untuk melindungi diri dari serangan. 

Meskipun demikian, pada tahun 1827, seluruh masyarakat Tionghoa dan peranakannya yang terdiri dari 147 pria, 138 wanita, dan 185 anak-anak, harus mengungsi ke Wonosobo. 

BACA JUGA:Ajisaka dan Tiga Pendekar Sakti: Menelusuri Jejak Sejarah yang Tersembunyi!

Namun, penduduk Jawa setempat kemudian meminta mereka untuk kembali, dengan alasan keterampilan bisnis orang Tionghoa dibutuhkan untuk memasarkan produk kapas yang dihasilkan oleh penduduk lokal.

Pangeran Diponegoro juga mengambil langkah-langkah yang lebih ketat dalam hubungan antara pasukannya dan perempuan peranakan Tionghoa. 

Ia memerintahkan agar komandan lapangannya menghentikan segala bentuk hubungan seks dengan perempuan Tionghoa peranakan. 

Menurutnya, hubungan semacam itu bisa membawa sial dan dianggap merugikan. 

BACA JUGA:Gunung Padang: Punden Berundak yang Menyimpan Sejarah Kerajaan Kuno!

Padahal, sebelum masa perang, hubungan antara penguasa Jawa dan perempuan peranakan Tionghoa dianggap normal, bahkan di lingkungan keraton.

Kategori :