Sebagai kesultanan maritim, Berau berkembang pesat dalam bidang perdagangan, terutama di sektor hasil bumi seperti lada, rotan, dan kayu.
BACA JUGA:Kerajaan Bedahulu: Peradaban yang Membentuk Lampung dan Sejarah Sumatra
Komoditas ini diperdagangkan ke wilayah-wilayah lain, termasuk Kesultanan Brunei dan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.
Keberadaan sungai-sungai besar seperti Sungai Berau dan Sungai Kelay juga mendukung aktivitas ekonomi kesultanan.
Jalur sungai ini menjadi rute penting untuk transportasi dan perdagangan, yang semakin memperkuat Berau sebagai pusat ekonomi di wilayah pesisir Kalimantan.
Hubungan dengan Kerajaan dan Kesultanan Lain
Kesultanan Berau memiliki hubungan yang cukup erat dengan kerajaan dan kesultanan lain di Nusantara, terutama dengan Kesultanan Kutai dan Kesultanan Sulu yang berada di wilayah Filipina selatan.
BACA JUGA:Kebangkitan dan Kejayaan Kesultanan Banten: Sejarah Kerajaan Maritim yang Makmur
Berau juga sering berinteraksi dengan Kesultanan Brunei, salah satu kerajaan besar di wilayah Kalimantan pada masa itu.
Selain hubungan diplomatik, Kesultanan Berau juga kerap terlibat dalam pertempuran dan konflik, baik dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun dengan kekuatan asing yang mulai masuk ke wilayah Nusantara.
Pada abad ke-19, pengaruh kolonial Belanda mulai masuk ke Kalimantan Timur, dan Berau tak luput dari ekspansi kekuatan Belanda.
Kemunduran Kesultanan Berau
Seiring dengan datangnya kolonialisme, Kesultanan Berau mulai mengalami kemunduran.
BACA JUGA:Kerajaan Bali: Sejarah Keemasan dan Pengaruh Budaya yang Mengukir Identitas Pulau Dewata
Belanda menggunakan taktik politik pecah-belah dan perjanjian untuk memperluas pengaruhnya di Nusantara, termasuk di Berau.
Pada tahun 1853, Sultan Muhammad Zainuddin dari Berau menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang menyebabkan kesultanan kehilangan sebagian besar kekuasaannya.