Terletak di jalur perdagangan penting antara Jawa, Sulawesi, dan Maluku, Bima menjadi salah satu pelabuhan utama yang menghubungkan kepulauan Indonesia dengan pedagang-pedagang internasional.
BACA JUGA:Dari Sumpah Palapa hingga Runtuhnya Majapahit: Sejarah Kerajaan Terbesar di Indonesia
Hal ini memungkinkan Kesultanan Bima untuk berkembang sebagai pusat ekonomi yang makmur, dengan perdagangan rempah-rempah, tekstil, dan hasil bumi lainnya.
Selain peranannya dalam perdagangan, Kesultanan Bima juga terkenal akan kekuatan militernya.
Pada abad ke-17, Sultan Muhammad Jalaluddin, yang memerintah pada masa kejayaannya, dikenal sebagai sultan yang kuat dan cerdik dalam berpolitik.
Ia mampu menjaga kemerdekaan Kesultanan Bima dari ancaman eksternal, termasuk dari kerajaan-kerajaan tetangga dan penjajahan Belanda.
BACA JUGA:Misteri dan Sejarah Nama Puncak Mandala, Simbol Perjuangan Papua
Namun, pada abad ke-18, Kesultanan Bima mulai mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena serangkaian konflik internal, persaingan antar keluarga kerajaan, serta penaklukan oleh Belanda yang mulai memasuki wilayah Indonesia.
Pada tahun 1900-an, Kesultanan Bima akhirnya menjadi bagian dari Indonesia sebagai wilayah administratif di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Warisan Budaya dan Tradisi
Meskipun mengalami banyak perubahan politik dan sosial, Kesultanan Bima meninggalkan warisan budaya yang masih dapat dirasakan hingga hari ini.
Salah satunya adalah budaya tradisional "adat Bima" yang hingga kini terus dilestarikan oleh masyarakat setempat.
BACA JUGA:Mengungkap Sejarah dan Misteri Puncak Trikora, Gunung Sakral di Papua
Adat ini mencakup berbagai upacara adat, pakaian tradisional, serta seni pertunjukan seperti tari-tarian dan musik yang menjadi ciri khas Bima.
Selain itu, Kesultanan Bima juga dikenal dengan arsitektur istana dan masjid-masjid bersejarahnya.
Istana Kesultanan Bima yang terletak di Kota Bima, meskipun sudah mengalami beberapa renovasi, masih menjadi simbol kebesaran dan kekayaan sejarah Kesultanan ini.