PAGARALAMPOS.COM - Jam Gadang merupakan ikon Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi.
Nama "Jam Gadang" berasal dari bahasa Minangkabau, di mana "gadang" berarti besar, sehingga secara harfiah dapat diartikan sebagai "jam besar".
Monumen ini tak hanya menjadi penanda waktu, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan panjang sejarah Bukittinggi.
Pendirian Jam Gadang
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris kota Bukittinggi saat itu.
BACA JUGA:Mengungkap Sejarah Kaum Ad: Fakta Menarik yang Jarang Diketahui
Pembangunan menara ini dirancang oleh seorang arsitek asal Minangkabau, Yazid Abidin, dan diselesaikan oleh seorang kontraktor lokal bernama Gigi Ameh.
Jam Gadang didirikan sebagai simbol kolonial Belanda yang menguasai Sumatera Barat saat itu, namun seiring berjalannya waktu, jam ini menjadi simbol penting bagi masyarakat Minangkabau.
Arsitektur menara ini terinspirasi dari gaya kolonial Eropa, namun juga mencerminkan kearifan lokal Minangkabau.
Dengan tinggi sekitar 26 meter, Jam Gadang dibangun di atas lahan seluas 13 x 4 meter. Pada masa awal pembangunannya, puncak menara ini dihiasi dengan ornamen berbentuk ayam jantan, yang kemudian diganti saat pendudukan Jepang.
BACA JUGA:Mengungkap Jejak Sejarah: Perang Saudara Bharatayudha dan Keterkaitannya dengan Pandawa serta Kurawa
Perubahan Desain pada Masa Jepang
Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan di Indonesia selama Perang Dunia II (1942–1945), desain atap Jam Gadang diubah untuk mencerminkan arsitektur khas Jepang.
Ornamen ayam jantan yang sebelumnya menghiasi puncak menara digantikan dengan bentuk pagoda yang mencirikan budaya Jepang.
Perubahan ini mencerminkan pengaruh Jepang pada Bukittinggi yang pada masa itu dikenal dengan nama Fort de Kock.