Mengungkap Sejarah 5 Kerajaan Bugis di Sulawesi

Rabu 17-07-2024,22:25 WIB
Reporter : Gusti
Editor : Bodok

Ketidakcocokan La Galigo dan ekonomi politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis mengajukan periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara kronologis.

BACA JUGA:Kuasa Sejagat, Siapa Batara Guru di Mitologi Batak, Jawa, dan Bugis

Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun 1980-an telah meruntuhkan kronologi ini.

Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah mengungkapkan bahwa Luwu tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri paling awal di semenanjung barat daya.

Pemahaman yang baru adalah bahwa orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari lembah Cénrana barat mulai menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300.

Teluk Bone bukanlah daerah yang berbahasa Bugis saja: ini adalah daerah dengan keragaman etnis yang sangat beragam.

BACA JUGA:Taukah Kamu! Inilah Sejarah Asal-usul Hingga Jejak Peradaban Suku Bugis

Orang Pamona, Padoe, Toala, Wotu dan Lemolang tinggal di dataran rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi merupakan rumah bagi kelompok yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi Tengah dan Selatan lainnya.

Orang-orang Bugis ditemukan hampir di sepanjang pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk berdagang dengan masyarakat adat Luwu.

Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan tekstual bahwa Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang dipersatukan oleh hubungan perdagangan.

Kekuasaan Luwu mulai memudar pada abad ke-16 oleh meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan kekalahan militernya ditetapkan dalam Tawarik Bone.

BACA JUGA:Jejak Peradaban Maritim, Mengungkap Sejarah Suku Bugis

Pada tanggal 4 atau 5 Februari 1605, Datu Luwu, La Patiwareq, Daeng Pareqbung, menjadi penguasa yang pertama dari wilayah Sulawesi bagian selatan yang memeluk Islam, menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'z'hir (atau Muzahir) al-din.

Dia dimakamkan di Malangke dan disebut dalam kronik sebagai Matinroe ri Wareq, ("Dia yang tidur di Wareq"), bekas pusat istana Luwu.

Guru agamanya, Dato Sulaiman, dikuburkan di dekatnya. Sekitar tahun 1620, Malangke ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, Palopo.

Tidak diketahui mengapa wilayah Malangke, yang populasinya mungkin mencapai 15.000 pada abad ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk penurunan harga barang besi dan potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku dari dataran tinggi Toraja.

Kategori :