PAGARALAMPOS.COM - Suku Karo, salah satu kelompok etnis di Indonesia, memiliki budaya khas yang tetap terjaga hingga kini. Salah satu aspek penting dari kebudayaan Suku Karo adalah sistem tatanan kehidupan bermasyarakat yang dikenal dengan sebutan "merga."
Merga dan Beru
Merga atau marga adalah nama keluarga yang dicantumkan di belakang nama seseorang sebagai identitasnya. Merga ini diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan istilah yang digunakan untuk perempuan adalah "beru." Sistem merga dan beru diwarisi secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan patrilineal.
Merga-marga dalam masyarakat Karo memiliki peran penting dalam mengidentifikasi seseorang sebagai anggota Suku Karo.
BACA JUGA:Sejarah Etnis Rejang, Konon Menelusuri Sungai Musi Hingga Menetap di Bengkulu
BACA JUGA:Catatan Sejarahwan Belanda, Begini Sejarah Suku Daya KOMERING di Sumsel
Merga Silima
Menurut Pemerintah Kabupaten Karo, terdapat lima marga induk yang disebut "merga silima." Seseorang dianggap sebagai orang Karo jika ia memiliki salah satu dari lima marga induk ini. Kelima marga induk tersebut adalah Karo-Karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Peranginangin.
Sejarah Merga Silima
Asal-usul Merga Silima terkait erat dengan sejarah Suku Karo. Salah satu versi sejarah Suku Karo, yang disampaikan dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Ngeluh Suku Karo Indonesia" oleh Sempa Sitepu, menceritakan tentang perjalanan nenek moyang Suku Karo. Cerita dimulai dengan seorang Maharaja dari India Selatan yang ingin mencari tempat subur untuk mendirikan kerajaan baru.
BACA JUGA:Penemuan Prasasti Kuno di Sacsayhuamán Berusia 30.000 Tahun, Mengguncang Sejarah Manusia
BACA JUGA:Eksplorasi Sejarah Jalan Braga: Destinasi Wisata yang Sarat Makna di Bandung
Ia berangkat bersama rombongannya, termasuk pengawal yang sakti bernama Si Karo. Si Karo menikahi putri Maharaja bernama Miansari.
Saat dalam perjalanan, rombongan terpisah akibat badai dan terdampar di sebuah pulau yang diberi nama "Perbulawanen," yang kini dikenal sebagai Belawan. Setelah petualangan yang panjang, Si Karo dan Miansari bersama tujuh orang lainnya sampai di dataran tinggi yang disebut Dataran Tinggi Karo.
Di sana, mereka memutuskan untuk menetap. Miansari dan Si Karo memiliki tujuh anak, dengan anak ketujuh bernama Meherga, yang berarti "berharga" karena menjadi penerus keturunan.