Sigit memperkirakan jika tren ini terus berlanjut, pemain VSAT lokal mungkin tidak akan mampu bertahan tahun depan di wilayah yang biasanya mengandalkan layanan berbasis satelit.
Perusahaan fixed broadband seperti First Media dan Indy Home akan terus bertahan, namun mungkin terkena dampaknya dalam jangka panjang.
Starlink adalah sistem Internet berbasis satelit yang beroperasi di orbit rendah Bumi (LEO).
Tidak seperti kabel serat optik, Starlink menggunakan konstelasi ribuan satelit kecil untuk mengirimkan data dengan kecepatan tinggi melalui gelombang radio.
BACA JUGA:Mengenal Lebih Dekat Samsung Internet Browser untuk Windows
Layanan ini terutama digunakan di daerah terpencil di mana kabel serat optik tidak tercakup.
Perusahaan transportasi luar angkasa milik Elon Musk, SpaceX, mulai meluncurkan satelit Starlink pada Mei 2019 dan meluncurkan layanan internet pada Oktober 2020.
Pada April 2024, terdapat 5.874 satelit Starlink di orbit, 5.800 di antaranya masih beroperasi. Setiap satelit Starlink terletak di ketinggian kurang lebih 550 kilometer di atas permukaan bumi dan memiliki umur kurang lebih lima tahun.
Starlink saat ini memiliki lebih dari 3 juta pelanggan di 99 negara, termasuk Indonesia.
BACA JUGA:Jelajahi Internet Super Cepat, Kamu Wajib Pake Nokia 2300 5G, New Release
Tujuan Musk adalah menciptakan "mega konstelasi" dengan hingga 42.000 satelit di orbit, dengan tujuan menyediakan akses internet ultra cepat untuk semua orang.
– Layanan dan Kecepatan
Starlink menawarkan paket internet “Standar” kategori “Residential” dengan kecepatan download 25 hingga 100 Mbps seharga Rp 750.000 per bulan.
Kategori "Jelajah" dan "Kapal" juga memiliki paket "Prioritas Mobile" dengan kecepatan download 40-220 Mbps, dengan harga mulai dari Rp 4,3 juta per bulan.
Sebagai perbandingan, layanan internet satelit Satria 1 di Indonesia berharga Rp 2,5 juta per bulan dan menawarkan kecepatan antara 3 dan 20 Mbps.