Marcus Valerius, seorang perwira setia yang teguh kepada Caligula, berdiri di barisan depan dengan semangat yang membara.
BACA JUGA:Percaya Atau Tidak! Penghuni Pertama Pulau Jawa Adalah Orang Hindustan, Aji Saka Lah Yang Membawanya
BACA JUGA:Sejarah Kerajaan Pajajaran, Raja Hingga Situs Peninggalan Yang Masih Ada
Di sampingnya, Gaius Aelius, seorang skeptis yang menentang keputusan sang kaisar dengan diam-diam, sementara Lucius, seorang prajurit muda yang polos, memandang situasi dengan mata penuh kegembiraan.
Saat legiun memulai serangan mereka dengan penuh semangat, suara Marcus nyaris terdengar di atas gemuruh ombak.
Gaius menggerutu, bertanya-tanya apakah mereka bisa benar-benar mengalahkan kekuatan Neptunus.
Namun, Lucius, dengan semangat yang tiada tara, terus mengumpulkan kerang-kerang laut ke dalam helmnya, tanpa memperdulikan keanehan tugas yang mereka terima.
BACA JUGA:7 Rekomendasi Makanan Khas Bangka yang Unik dan Populer, Wajib di Coba say!
Saat hari semakin terang, sisa-sisa perang mulai menyebar di sekitar mereka.
Caligula, dengan senyum misterius di bibirnya, mengawasi semuanya dari tempat duduknya yang tinggi.
Tidak ada yang bisa menguraikan makna senyum itu; apakah itu kegembiraan akan keanehannya sendiri atau kepuasan atas strategi tersembunyi yang ia rencanakan?
Saat sang kaisar turun dari tempat duduknya, langkahnya melangkah menuju mereka bertiga.
BACA JUGA:Aveta Ranger Max Explorer, Pembaruan Segmen Bebek Trail yang Canggih dan Terjangkau
BACA JUGA:Mengungkap Misteri Kerajaan Kandis Jejak Sejarah Tertua di Indonesia yang Tersembunyi, Benarkah?
Dengan kata-kata bijak, ia menyatakan kepada Marcus bahwa kesetiaannya adalah landasan bagi kejayaan Roma, kepada Gaius bahwa bahkan keraguan seorang skeptis dapat digunakan untuk kepentingan negara, dan kepada Lucius bahwa kepolosannya telah meraih hati para dewa.